MANAJEMEN
PERSPEKTIF SYARIAH
KRITIK TERHADAP ORIENTASI MANAJEMEN UMUM
Pengaruh Ideologi Kapitalis - Sekuler
Semenjak ideologi kapitalis-sekuler
berkembang dan merambah hampir seluruh permukaan bumi , terutama, setelah
jatuhnya kekuasaan Khilafah Islam Utsmaniyah pada tahun 1924, bangsa-bangsa di
dunia memasuki sistem kehidupan sekuleristik. Tidak terkecuali umat
Islam yang terpecah dalam lebih dari 50
negeri Islam.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik
tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan
yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku
politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik
dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma
pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi
meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan
aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru
menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik
tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan
dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik,
budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal
ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Dalam musik, mode, makanan,
film, bahkan gaya hidup ala Barat kesanalah orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang
materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang
egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi
sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat
sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama.
Paham ini bertumpu pada tiga doktrin:
(1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan
sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama,
kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3)
oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan
aturan hidup bermasyarakat yang mampu
mengadaptasi semua paham dan agama yang
berkembang di dalam masyarakat. Sikap
beragama seperti ini menyebabkan
sebagian umat Islam telah memandang
rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri.
Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam
saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara
itu, sistem pendidikan yang
materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus
menguasai iptek. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu
kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga
sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak
bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap
secara serius.
Jauh
sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) -- penulis masalah kekristenan dalam
pendidikan (Christianity in Education) – seperti yang dikutip oleh Husain dan
Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,
secara transparan telah menjelaskan bahwa
sekulerisasi pendidikan memang
telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat pada abad ke-15 dan
16, yakni ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu sekuler dengan
cabang-cabang ilmu yang bersumber dari
agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan
persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai
akal manusia semata yang tidak
perlu dihubungkan dengan agama. Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya
mendorong munculnya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor
universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan
Ilmu-ilmu Alam”. Penggolongan ini yang
kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia
Muslim. Bahkan, dalam perencanaan
kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib.
Para siswa hanya diharapkan mempunyai
pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tersebut.
Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran
yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non
materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah
dapat mengembalikan investasi yang telah
ditanam oleh orang tua siswa.
Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara
dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental
dirasa tidak patut atau tidak perlu
dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang
pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal
di atas, membawa kita pada
satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan: bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri.
Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Akar Permasalahan
Akar
permasalahan mendasar dari berbagai krisis multidimensi yang tengah kita hadapi
adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yang kapitalistik,
perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang
egoistik dan individualistik, sikap
beragama yang sinkretistik
dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler
lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan
problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan
sekuleristik tadi.
Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986)
dalam bukunya Ancaman Sekulerisme,
diartikan sebagai iqomatu al
hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur
kehidupan di atas landasan selain agama
(Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nizhamul
Islam, menjelaskan sekulerisme
sebagai fashluddin anil hayah, yaitu memisahkan agama (Islam)
dari kehidupan. Pemikiran
sekulerisme berasal dari sejarah gelap
Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin)
yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan,
termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal
yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional
sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak
mengubah pendapatnya bahwa mataharilah
yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi
(geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa
bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama
tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik,
pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Tapi,
satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang
menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya
terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak
lagi up to date. Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar
bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama
yang sempurna lagi paripurna dan
diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan
duniawi. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat
dimana seluruh umat Islam harus terikat
sebagaimana keterikatan kaum muslimin
pada syariat di bidang yang lain,
seperti ekonomi dan sosial politik.
Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah
sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila
beriman kepada ajaran Islam sebagian dan
menolak sebagian yang lain. Oleh karena
itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.
Pengaruh Ideologi Kapitalis – Sekuler dalam Aktivitas Manajemen
Pengaruh ideologi kapitalis –
sekuler dalam aktivitas manajemen
moderen setidaknya dapat dilacak pada dua hal.
Pengaruh pertama, hal yang paling mendasar, adalah dalam
asas atau landasan beraktivitas manajemen. Aktivitas manajemen sepenuhnya dipandang sebagai suatu aktivitas
kehidupan yang bebas nilai dan tidak terikat
pada tolok ukur tertentu.
Pandangan seperti ini telah banyak menjebak para pelaku manajemen, yaitu
dengan mencampuradukkan dua hal yang sejatinya adalah berbeda. Pandangan
pertama adalah manajemen sebagai sebuah tool atau alat dalam membantu
memperlancar kegiatan hidup
manusia. Sebagai suatu alat sebagaimana
ilmu pengetahuan lainnya, manajemen memang hal yang bebas nilai atau berhukum
asal sebagai mubah atau boleh. Karenanya, siapapun boleh
menggunakannya. Pandangan ini benar,
sebab ilmu manajemen memang tidak
mengandung hadlarah atau sistem nilai/peradaban dari suatu agama atau
ideologi tertentu.
Pandangan kedua – sebagai
konsekuensi pandangan pertama - adalah bahwa semua aktivitas manusia dalam
kaitannya dengan manajemen juga bersifat
bebas nilai. Perbuatan manusia dalam beraktivitas manajemen tidaklah terkait dengan kaidah halal-haram. Pandangan inilah yang keliru, sehingga merancukan pemahaman manusia akan hakikat
perbuatan. Akibatnya, syariah tidak lagi
dipandang sebagai tolok ukur perbuatan manusia.
Sikap berbuat machiavelis, yakni tujuan menghalalkan segala cara, akhirnya
menjadi suatu hal yang wajar dilakukan.
Pencampuradukan kedua pandangan
tadi mengentalkan sikap sekuler para
manajer atau pelaku manajemen dalam melakukan segala aktivitas yang berhubungan
dengan ruang lingkup manajemen. Jelasnya,
tolok ukur aktivitasnya disandarkan semata pada kepentingan atau tujuan yang hendak diraih,
bukan lagi pada syariah. Tolok ukur aktivitasnya telah menafikan kaidah ushul yang menyatakan “al aslu fil af’al
attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah
terikat pada hukum syara: wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
Pengaruh kedua, pada orientasi manajemen. Pengaruh paham
kapitalis- sekuler juga dapat dilihat pada
orientasi manajemen yang umum
digunakan. Suatu organisasi perusahaan,
apapun jenisnya, dikategorikan sebagai organisasi yang baik bila telah memiliki tiga orientasi,
yakni:
·
Target
profit.
Tujuan setiap perusahaan berdiri tentulah untuk mencari profit dan sedapat
mungkin meraih profit yang setinggi-tingginya.
·
Pertumbuhan. Jika profit telah diraih sesuai target, maka
perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan tingkat profitnya. Target profit perusahaan akan terus
diupayakan untuk tumbuh meningkat setiap tahunnya.
·
Keberlangsungan. Belum sempurna orientasi manajemen suatu
perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target profit dan pertumbuhan.
Karena itu perlu diupayakan terus agar
pertumbuhan profit yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya.
Visi
sekuler di atas telah menghilangkan
faktor orientasi hasil yang tidak melulu
profit materi, yakni hasil yang berwujud benefit nonmateri serta faktor keberkahan atau orientasi ridlo Allah SWT. Hal ini memang sejalan dengan tipikal kebahagian versi sekuler yang serba bendawi dan konkrit.
Solusi Fundamental
Mengingat beratnya persoalan atau krisis
yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang
paradigmatik dan integral. Mengapa? Harus secara paradigmatik oleh karena semua
problema yang ada sesungguhnya berpangkal sistem yang terlahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu
sekulerisme. Sekulerisme memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam,
mengingkari fitrah tauhid manusia dan bertentangan dengan akal sehat.
Berbagai problema tadi juga menghendaki
solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua
sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yang parsial tidak akan menyelesaikan
secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru
yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi paradigmatik dan integral yang
dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan
kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pendidikannya, berlandaskan pada
aturan syariat Islam.
Solusi Fungsional dalam Aktivitas Manajemen
Aktivitas
manajemen adalah amal perbuatan manusia.
Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah juga
berorientasi bagi pencapaian ridlo Allah
SWT. Hal ini – seperti dinyatakan oleh Imam Fudhail bin Iyad dalam menjelaskan tafsir QS. Al Mulk: 2-3 -
mensyaratkan perlu dipenuhinya dua syarat, yaitu niat yang ikhlas dan cara yang sesuai dengan hukum syara. Dua
syarat komplementer tersebut akan menghantarkan kualitas perbuatan manusia ke
dalam kategori amal yang ahsan (ahsanul amal), yakni amal terbaik di
sisi Allah SWT.
Dari
paparan di atas dapat ditarik dua simpulan yang sekaligus menjadi solusi
fungsional dalam meluruskan pemahaman beraktivitas manajemen. Pertama,
sebagai ilmu, manajemen termasuk sesuatu yang bebas nilai atau berhukum asal
mubah. Konsekuensinya, siapapun boleh mempelajarinya. Berkaitan dengan ini,
kiranya perlu dicermati pernyataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya
Ihya Ulumuddin, Bab Ilmu.
Beliau membagi ilmu dalam dua kategori
ilmu berdasarkan takaran kewajibannya, yaitu:. (1) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu
a’in, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu
yang termasuk dalam golongan ini adalah
ilmu-ilmu tsaqofah Islam, seperti pemikiran, ide dan hukum-hukum Islam
(fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumu al-Qur’an dan tahfidzu
al-Qur’an, ulumu al-Hadits dan tahfidzu al-Hadits, ushu
al-fiqh dan sebagainya; (2) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu
kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh salah satu atau sebagian
saja dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini adalah ilmu-ilmu kehidupan yang mencakup ilmu
pengetahuan dan teknologi serta keterampilan, seperti ilmu kimia, biologi,
fisika, kedokteran, manajemen, pertanian, teknik dan sebagainya.
Pada sisi
yang lain, secara fi’liyah (perbuatan), Rasul SAW pun telah mencontohkannya. Dalam kitab Al Fathul
Kabir, jilid III, misalnya, diketahui bahwa Rasul pernah mengutus dua orang
shahabatnya ke negeri Yaman guna
mempelajari teknologi pembuatan senjata yang mutakhir saat itu, terutama
sejenis alat perang yang bernama dabbabah. Mesin perang adalah sejenis
tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda.
Rasul memahami betul manfaat senjata ini
untuk menerjang benteng lawan.
Simpulan kedua, sebagai
amal perbuatan, aktivitas manajemen yang dilakukan haruslah selalu berada dalam
koridor syariah. Syariah harus menjadi tolok ukur aktivitas manajemen. Senafas
dengan visi dan misi penciptaan dan kemusliman seseorang, maka syariahlah satu-satunya yang menjadi
kendali amal perbuatannya. Hal ini
berlaku bagi setiap muslim, siapa pun, kapan pun dan dimana pun dia. Inilah
sebenarnya penjabaran dari kaidah ushul
yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”,
yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima,
yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau
haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar