Selasa, 12 Februari 2013

Beras: mengapa mesti Impor?



Beras : Mengapa Mesti Impor
(Oleh : Asdianto, SP)

Angka produksi tanaman pangan, khususnya padi, ternyata masih sering menjadi perdebatan dan polemik nasional. Seperti yang saat ini masih hangat, yaitu perlu atau tidaknya impor beras. Hal ini diperdebatkan karena BULOG tidak dapat mengisi cadangan berasnya dari pengadaan dalam negeri. Sementara dilain pihak, ARAM I BPS menunjukkan produksi yang cukup. Kesangsian bahwa produksi padi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional semakin diperkeruh dengan berita adanya kelangkaan pupuk dan kasus rawan pangan.
Dalam memproduksi tanaman pangan, khususnya padi sawah, petani telah memanfaatkan teknologi produksi yang tersedia, terutama sejak dilakukannya Revolusi Hijau. Berbagai jenis teknologi telah diperkenalkan dan dipraktekkan untuk meningkatkan produktivitas.
Namun, kemampuan dan keunggulan teknologi produksi ini belum dibarengi oleh tersedianya areal sawah yang memadai. Terlebih lagi laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian cukup besar.  Indikator yang menunjukkan kekurangan luas areal sawah ini adalah rendahnya indeks luasan panen padi per kapita per tahun. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, indeks luasan panen per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil, hanya seluas 531 m2 per kapita (IRRI, 2002).
Melihat hasil produksi pangan, khususnya beras, pada tahun 2004 dan 2005 kita bisa berswasembada. Berdasarkan Angka Sementara (ASEM) BPS produksi padi tahun 2005 mengalami surplus, meskipun hanya sedikit yaitu 15 ribu ton. Sedangkan berdasarkan Angka Ramalan I 2006 BPS menunjukkan angka produksi padi sebesar 54,25 juta ton GKG. Angka itu meskipun naik dibanding produksi tahun 2005, tapi prosentasenya masih di bawah laju pertumbuhan penduduk. Kenaikan produksi padi 0,37 persen, sementara kenaikan penduduk mencapai 1,2 persen/tahun. Angka produksi tersebut (54,25 juta ton) masih jauh dari target sasaran produksi padi untuk tahun 2006 sebesar 54,8 juta ton.
Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan semakin tidak mudah dengan ancaman musibah bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, meningkatnya aktivitas gunung berapi dan gempa bumi sebagaimana yang terjadi pagi dini hari Sabtu tanggal 27 Mei di DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kondisi seperti ini mengharuskan pemerintah untuk lebih mawas diri dan menuntut pemerintah agar lebih meningkatkan upaya pengamanan produksi tanaman pangan untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan.
Beberapa kebijakan telah diambil dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas. Untuk meningkatkan produktivitas, akan dilakukan upaya peningkatan produktivitas pada 500.000 ha pertanaman padi sawah dan peningkatan produksi jagung di Sulawesi (Celebes Corn Islands). Selain itu dilakukan pula upaya revitalisasi perbenihan, antara lain melalui penguatan kelembagaan perbenihan di daerah, seperti Balai Benih, produsen/penangkar benih dan BPSBTPH. Untuk pemecahan masalah kelangkaan pupuk, selain memperbaiki sistem penyediaan dan distribusi, Pemerintah mengijinkan untuk melakukan impor pupuk. Sedangkan untuk mengurangi dampak konversi lahan, melalui Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, akan dilakukan perbaikan saluran irigasi pada tingkat usahatani sekitar 200.000 ha dengan sistem padat karya. Dengan perbaikan ini diharapkan lahan tersebut dapat ditanami 2 (dua) kali dalam setahun. Dan masih banyak lagi upaya-upaya yang akan dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan.(Deptan, Pertemuan ARAM II 2006 di Manado, Juni 2006).
Pembahasan ARAM II 2006 menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan dimana untuk Produksi Padi Tahun 2006 diperkirakan mengalami penurunan hampir 35 % dari produksi yang ada sehingga angka produksi hanya bisa mencapai 52,17 juta ton, artinya bahwa pemerintah dalam hal ini mulai mempersiapkan diri untuk menyusun antisipasi ketersediaan beras jika pada akhir desember 2006 nanti angka produksi masih mengalami penurunan. Mengapa kondisi ini terjadi apakah permasalahan pertanian masih hanya seputar produksi saja atau adanya kebijakan politik yang melatar belakangi semua ini, untuk itu  dalam tulisan kali ini akan dicoba untuk menganalisa sejauhmana pengaruh Pertanian terhadap pendapatan negara dan bagaimana pandangan islam mengenai politik pertanian dewasa ini.


Urgensi Bidang Pertanian
Bidang pertanian merupakan bidang penting dalam sebuah negara.  Hasil-hasil pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia seperti makan dan minum serta kebutuhan asasi individual, yakni pakaian dan perumahan.  Belum lagi berbagai produk olahan yang menunjang kenyamanan hidup manusia seperti obat-obatan, kosmetika, kerajinan, dan sebagainya. Dengan penduduk 216 juta jiwa, Indonesia saat ini, misalnya, membutuhkan bahan pangan pokok sekurang-kurangnya 53 juta ton beras, 12.5 juta ton jagung. dan 3.0 juta ton kedelai. Bahkan jika berdasarkan angka tetap (ATAP)  BPS tahun 2004 dan 2005 maka produksi beras nasional yang 54,24 Juta Ton pada tahun 2004 dan tahun 2005 pada dasarnya sudah bisa untuk mencukupi ketersediaan pangan di Indonesia, begitu pula  dengan produksi jagung yang mencapai 12,46 Juta ton dengan produksi kedelai  sebesar 827,9 ribu ton.akan tetapi kurangnya ketersediaan pangan dilapangan dan tingginya harga bahan makanan pokok masih saja dirasakan oleh masyarakat, belum lagi dengan adanya impor bersa yang menambah catatan utang luar negeri membuat kita harus lebih peka memperhatikan masalah pertanian ini.
Masalah pertanian ini pun sering digunakan dalam kancah politik luar negeri suatu negara.  Pada Perang Ahzab, di tengah-tengah kekhawatiran yang mengepung kaum Muslim, Rasulullah saw. pergi menjumpai Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr dan Harits bin Auf bin Abu Haritsah al-Murri, yang saat itu menjadi panglima Perang Ghathfan.  Beliau menawarkan sepertiga hasil buah-buahan kota Madinah (kepada mereka), dan sebagai kompensasinya keduanya pulang bersama pasukannya, tidak terlibat dalam persekutuan bersama-sama dengan pasukan Quraisy.[i] Penghentian impor gandum Amerika ke Uni Soviet turut mempercepat keruntuhan negara tirai besi tersebut. Pada saat ini, isu penting dan sensitif dalam WTO (World Trade Organization) adalah isu subsidi pertanian.

Kekeliruan Kebijakan Pertanian Saat Ini

Setelah Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984, percepatan produksi pangan utama ini terus menurun. Akibatnya, impor beras Indonesia melonjak dari rata-rata 200 ribu ton pada periode 1990-an menjadi 1.5 juta ton pertahun sebelum krisis (1995-1997), kemudian naik lagi menjadi 3.3 juta ton pertahun pada periode krisis (1998-2001). Padahal swasembada ini pasti akan menghemat devisa. Impor beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1998 yang mencapai 5.8 juta ton.  Selain beras, komoditas pangan utama masih banyak didatangkan dari luar.  Kebutuhan kedelai yang 3.0 juta ton, 70%-nya dipenuhi dari impor karena indonesia hanya bisa memenuhi sekitar 828 ribu ton. Impor jagung mencapai 2 juta ton dari kebutuhan 12.5 juta ton jagung.[ii]
Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada berbagai faktor yang menyebabkannya. Pertama: Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun.  Rata-rata  produktivitas padi adalah 4.4 ton/ha,  jagung 3.2 ton/ha, dan kedelai 1.19 ton/ha.  Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke-29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9.5 ton/ha, Jepang 6.65 ton/ha. dan Cina 6.35 ton/ha.[iii] 
Produktivitas rendah karena pilihan terhadap metode peningkatan produksi didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian negara-negara maju saat ini, bukan oleh pertimbangan ketepatan dengan kondisi setempat.  Revolusi pangan yang berarti penggunaan bibit unggul baru—salah satunya untuk padi—dimaksudkan agar hasil panen perhektar dapat ditingkatkan dan masa panen dapat dipersingkat. Namun, pada praktiknya, 'bibit unggul' ini selalu membutuhkan pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida).  Bibit baru yang digunakan oleh revolusi pangan rentan terhadap hama dan oleh karenanya memerlukan lebih banyak pestisida. Di kebanyakan negara berkembang, pestisida yang digunakan berkadar tinggi, yang di negara-negara industri telah dilarang penggunaanya (DDT, Aldrin, DBCP).  Pasar pestisida dunia didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Sepuluh perusahaan besar menguasai 60% pasaran dunia. Mereka mengambil keuntungan terutama dari program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional lainnya. Mereka terorganisasi dalam sebuah badan bernama Industry Cooperative (ICP) yang mempunyai lobi-lobi berpengaruh atas kebijakan pertanian FAO.[iv]
Industri pertanian negara-negara maju berkepentingan agar negara-negara berkembang menerima bibit-bibit unggul yang mereka tawarkan (yang tidak dapat berkembang tanpa penggunaan pupuk dan pestisida). Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi bahan kimia dan makanan menguasai pembibitan dan perdagangan bibit unggul. Di antaranya Ciba-Geigy, Monsanto, Pfizer, Upjohn, Sandoz, Shell, Cargill, ITT, General Foods.[v] Dengan segala cara mereka mendiktekan keinginannya.  Kita masih ingat kasus penyuapan para pejabat Deptan oleh Monsanto (perusahaan pestisida dan bibit dari AS) untuk meloloskan rencana mereka menanam kapas transgenik yang masih kontroversial di Indonesia.
Keberpihakan Pemerintah terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor (sering berupa mobil dan barang mewah lainnya). Di samping itu, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya.  Tidak mengherankan jika dana dan perhatian terhadap pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman untuk dijual (cash crops).  Sebagai contoh, dana penelitian untuk menghasilkan bibit unggul lokal sangat minim, akibatnya bibit lokal selalu kalah bersaing dengan bibit unggul dari luar.  Semua itu mengakibatkan menurunnya produksi bahan pangan. Belum lagi penguasaan air sebagai milik umum, perlahan-lahan diswastanisasi dengan bolehnya swasta menguasai air.  Air dan sarana irigasi diserahkan pada petani dalam pengurusannya, padahal umumnya petani terbatas kemampuannya.
Kedua: peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun, khususnya di lahan pertanian pangan produktif di Pulau Jawa.  Penerapan otonomi daerah—banyak daerah menolak program transmigrasi—menghentikan pembukaan lahan-lahan baru di luar Jawa. Di sisi lain, konversi lahan di daerah-daerah subur terus terjadi seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam Forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian di Kuta-Bali pada tanggal 31 Mei 2006 mengatakan : “Di Indonesia dari tahun ke tahun terus terjadi konversi lahan dan luasannya makin bertambah. Konversi itu perlu penelitian lebih lanjut karena sejauh ini belum ada data yang pasti soal konversi, khususnya persawahan”. [Sumber : KOMPAS, Jumat, 2 Juni 2006] sebagai contoh di pantai utara barat sampai timur (Kabupaten Pasuruan) Pulau Jawa saja, misalnya, tiap tahun terjadi konversi lahan pertanian beririgasi tidak kurang dari 500  hektar. Khusus di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung konversi Lahan terjadi sebagai akibat adanya perubahan peruntukan lahan yang semula diusahakan untuk pertanian berubah fungsi menjadi Lahan untuk Tambang Inkonvensional (TI) yang cakupan reklamasinya harus menunggu waktu yang relatif lama.adanya konversi lahan yang terjadi di Propinsi Kepualuan Bangka Belitung akan menurunkan hasil panen dan produksi Padi, sedangkan selama ini dengan penguasaan potensi yang ada Bangka Belitung sendiri hanya bisa mencukupi 9,36 % Kebutuhan Pangan yang ada di Bangka Belitung, maka dengan adanya konversi lahan tersebut akan semakin terjadinya kerawanan pangan yang ada di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sehingga alternatif yang diberikan pemerintah tidak lain untuk mencukupi kebutuhan akan pangan yang mendesak tiap tahunnya maka perlu adanya impor dari daerah/negara lainnya. Padahal jika kita melihat potensi Lahan yang ada maka masih banyak lahan yang peruntukkannya tidak dipergunakan untuk lahan sawah. Potensi sebesar berdasarkan angka BPS Propinsi bahwa Penggunaan lahan Sawah yang didasari pada pengairan sebesar 16.135 Ha dimana yang hanya ditanami padi sebesar 5.680 Ha sementara yang tidak diusahakan sebesar 8.909 Ha jauh lebih besar dari yang diusahakan tersebut. Untuk lahan beririgasi di Indonesia sebesar 10.734.847 hektar (setengahnya berada di Pulau Jawa) yang telah menyumbangkan produksi padi sebesar 28.692.517 ton lebih dari setengah dari total produksi Indonesia yang sebesar 51.323.225 ton untuk kebutuhan  padi Indonesia pada dasarnya masih bisa dimanfaatkan dengan penguasaan manajemen dan kebijakan Pertanian yang berpihak kepada masyarakat.[vi] Dapat kita bayangkan, konversi lahan di lahan beririgasi sangatlah nyata terhadap penurunan produksi pangan.
    


Politik Pertanian dalam Islam

Politik ekonomi Islam berdiri di atas satu konsep, yaitu menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan syariat Islam yang diterapkan oleh tiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta dilaksanakan oleh negara, melalui pembinaan dan pengundang-undangan hukum syariat. Dalam masalah produksi, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda dalam masalah penyerbukan kurma:

«أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian. (HR Muslim dan Ahmad).
Terdapat juga riwayat, bahwa Nabi saw. pernah mengutus dua orang Muslim untuk berangkat ke pandai besi di Yaman untuk mempelajari industri persenjataan. Semuanya menunjukkan, bahwa syariat telah menyerahkan masalah produksi harta kekayaan tersebut kepada manusia agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka, termasuk dalam hal ini bidang pertanian.
Pada dasarnya, politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pilihan tatacara peningkatan produksi merupakan hal yang mubah untuk ditempuh. Tentu, pilihan cara peningkatan produksi itu harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan.  Untuk itu, peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan: intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan). 
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.  Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada—serta intervensi oleh—pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan. 
Dalam masalah permodalan, negara harus memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu, negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karena itu, air berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan:
Pertama: mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan pengaturan negara.
Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya.  Menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât) itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Aisyah ra., sebagai berikut:

«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang lebih berhak. (HR al-Bukhari).

Nabi saw. juga telah bersabda: 

«مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu miliknya. (HR Abu Dawud).

Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab, juga telah bersabda:

«مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud).[vii]

Ada 300.000 hektar lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa. Di Indonesia jumlah lahan kering adalah sebesar 11 juta hektar, yang sebagian besarnya berupa lahan tidur.  Jenis lahan lain yang masih potensial adalah pemanfaatan lahan lebak dan pasang-surut, termasuk di kawasan pasang surut. Luas lahan pasang-surut dan lebak di Indonesia  diperkirakan  mencapai  20.19 juta hektar dan sekitar 9.5 juta hektar berpotensi untuk pertanian.  Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya menghadapi berbagai kendala untuk menjadi lahan pertanian, seperti keragaman sifat fisiko-kimia dan bio-fisik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius oleh negara untuk mengoptimalkannya dengan mencari dan menerapkan teknologi budidaya. [viii]
Kedua: setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal.  Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang lain.  Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengatakan, "Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun."
Dalam Kitab al-Amwâl, Abu Ubaid telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Bilal bin Harits al-Muzni, yang menuturkan:

Rasulullah saw.  telah memberikan lembah secara keseluruhan. Abu Ubaid berkata, "Pada masa Umar, beliau pernah berkata kepada Bilal, 'Rasulullah saw. tidak memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya. Akan tetapi, beliau memberikannya kepadamu agar kamu garap. Karena itu, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola, dan yang lain (yang tidak bisa kamu kelola) kamu kembalikan.'"

Ijma Sahabat juga telah menentukan bahwa siapa saja yang mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut harus diambil dari pemilik asalnya, lalu diberikan kepada yang lain.[ix]

Penutup
Dalam Islam, Negara dalam hal ini Khilafah Islamiyah harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta melarang terbengkalainya tanah.  Di samping itu, Negara harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun lewat perjanjian multilateral WTO. Dengan demikian, terdapat jaminan produksi yang terus berlangsung dan meningkat sehingga terjamin pula pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam Islam.  Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.























[i]   Abu Fuad . Peperangan Rasulullah saw. Pustaka Thariqul Izzah 2004. hlm. 77-78.
[ii]   Wiwik Suhartiningsih.  "Mewaspadai Jebakan Swasembada Beras," Pikiran Rakyat, 11/11/2004.
[iii] Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP. "Ketahanan  Pangan  dan Teknologi  Produktivitas Menuju  Kemandirian  Pertanian  Indonesia," www.nakertrans.go.id.  (Di download 1 Agustus 2005).
[iv] Rudolf H. Strahm. Kemiskinan Dunia Ketiga, Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. PT Pustaka Cidesindo. 1999. hlm. 47.
[v] Ibid, hlm. 49.
[vi] Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP., Op. Cit.
[vii]             Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti.  1996. hlm. 136.
[viii]            Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP., Op. Cit.
[ix] An-Nabhani. Op. Cit., hlm. 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar