Rabu, 20 Februari 2013

Menggagas Motivasi Berprestasi SDM Muslim



MENGGAGAS MOTIVASI BERPRESTASI SDM MUSLIM

Mohammad Harist Al-Muhasiby

Pembahasan  motivasi  dalam manajemen sumberdaya manusia kerap membawa nama  Abraham Harold Maslow. Maslow – seorang humanis keturunan Yahudi Rusia penyandang gelar “Humanist of The Year” 1966 versi American Humanist Association – banyak dihubungkan dengan teori motivasi, khususnya dengan pendekatan content. Dalam bukunya, A Theory of Motivation (1943) sebagaimana yang dikutip oleh Mursi (1998),  ia  mencoba menjawab sejumlah pertanyaan seperti: kebutuhan-kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh orang-orang? Apa yang mendorong mereka untuk bertindak?
Menurutnya, setiap individu mempunyai kebutuhan mendalam yang mendorong, menekan, atau memotivasikan mereka untuk menguranginya atau memenuhinya. Artinya, para individu akan bertindak atau berkelakuan dengan cara-cara yang akan membawa mereka kepada kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan mereka.  Kebutuhan manusia  diuraikan Maslow secara hirarkis sebagai berikut:
(1)   Kebutuhan fisiologis  (physiological needs), yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas,  dan seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar.
(2)  Kebutuhan rasa aman (safety and security), yaitu kebutuhan akan perlindungan dari  ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.
(3)  Kebutuhan untuk merasa memiliki (belongingness), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.
(4)  Kebutuhan akan harga diri (esteem), yaitu kebutuhan untuk dihormati, dan dihargai oleh orang lain.
(5)   Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualization), yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.

Dengan hirarki seperti ini, seorang karyawan yang membutuhkan keberhasilan dapat  dimotivasi untuk bekerja beberapa jam lebih banyak untuk menyelesaikan suatu tugas yang sulit tepat pada waktunya; seorang pegawai yang membutuhkan penghargaan diri akan dimotivasikan untuk bekerja dengan sangat hati-hati untuk menghasilkan suatu pekerjaan dengan kualitas yang tinggi. Selanjutnya, Maslow mengemukakan bahwa orang dewasa secara normal memuaskan kira-kira 85 persen kebutuhan fisiologisnya, 70 persen kebutuhan rasa aman, 50 persen kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, 40 persen kebutuhan harga diri, dan hanya 10 persen dari kebutuhan aktualisasi diri.

Setelah delapan belas tahun Maslow memunculkan teorinya, David C. McClelland (1961), psikolog Amerika dari Universitas Harvard merilis  teori motivasi baru: motivasi berprestasi.  Motivasi ini  (achievement motive) diartikan  sebagai " is impetus to do well relative to some standard of excellence"  (Jhonson, 1984).  Suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan  suatu aktivitas  dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Dalam teori ini,  dikemukakan bahwa produktivitas seseorang sangat ditentukan oleh "virus mental" yang ada pada dirinya. Virus mental yang dimaksud adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal. Virus itu terdiri dari 3 dorongan kebutuhan, yaitu: need of achievement, need of affiliation, dan need of power.
McClelland memfokuskan perhatian pada pembinaan virus mental manajer. Caranya adalah melalui pengembangan potensi mereka dalam lingkungan kerja secara efektif. Dengan cara ini  diharapkan  produktivitas  perusahaan yang berkualitas tinggi dapat terwujud hingga tujuan utama  perusahaan dapat tercapai.
Dari penelitiannya – juga Murray (1957) serta Miller dan Gordon (1970) - dapat disimpulkan terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi. Artinya, manajer yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya  mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya juga rendah.  Dan ternyata, motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan dua faktor, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. IQ merupakan kemampuan potensi  dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Artinya, orang akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa. Ia akan mampu mencapai prestasi maksimal.
Meskipun teori-teori ini kelihatannya sangat sederhana, namun dalam prakteknya pengertian motivasi saat ini telah berkembang jauh lebih kompleks. Mursi (1998)  melalui bukunya SDM yang Produktif: Pendekatan Al Qur’an dan Sains, bahkan menilainya telah usang. Alasannya:
(1)   Hirarki kebutuhan-kebutuhan  itu  berbeda-beda  di  antara  para individu, dan ia juga berganti-ganti sepanjang waktu.
(2)   Cara-cara  kebutuhan-kebutuhan  tersebut  diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan juga berbeda-beda di antara para individu.
(3)   Orang tidak selalu bertindak atas dasar kebutuhan mereka terus-menerus, dan kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi mereka berbeda-beda dari waktu ke waktu.
(4)   Reaksi  dari para  individu  untuk  memenuhi  kebutuhan atau untuk tidak memenuhinya akan berbeda-beda.

Makin banyak kita mengenal orang-orang di sekitar kita, maka makin mampu kita untuk mengerti tentang kebutuhan-kebutuhannya dan tentang apa yang akan memotivasi mereka. Tetapi, perilaku manusia tergantung kepada demikian banyak kompleksitas dan alternatif-alternatif, sehingga kita pasti akan sering kali membuat kesalahan-kesalahan dalam membuat perkiraan-perkiraan.

Koreksi Mursi setidaknya memberikan gugahan untuk menyoal kembali keberadaan motivasi dalam diri seorang muslim.  Seberapa tepat  pendapat duo Maslow  dan McClelland akan kebutuhan manusia yang abai akan  aspek ruhiyah?  Selalukah  aktivitas manusia didasari atas motivasi bendawi?
Lalu, bagaimana halnya dengan motivasi  SDM Muslim? Tidakkah motivasi berprestasi telah menjadi suatu potensi yang fitrah ada dalam setiap diri SDM Muslim? Ataukah memang motivasi berprestasi adalah sesuatu yang asing sehingga telah menjadi “kemakluman bersama” bila kebanyakan SDM Muslim diidentikkan pada prototip SDM yang minus motivasi berprestasi hingga emoh beretos kerja tinggi? Bagaimana sesungguhnya kaitan  kebutuhan manusia sebagai potensi kehidupan dengan motivasi dalam pandangan syariah?  Untuk menjawabnya, uraian berikut  mencoba memaparkan  hakikat motivasi  ditinjau dari sudut pandang syariah.

Pemahaman akan Potensi Kehidupan

Sebagaimana telah diketahui, ketika menciptakan  manusia, Allah SWT melengkapinya dengan  potensi-potensi kehidupan (thaqatun hayawiyatun) yang secara fitri akan mendorongnya untuk beraktifitas mewujudkan misi penciptaannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Potensi kehidupan yang dimaksud,  menurut Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamy, berupa hajatu al ‘udhawiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri).
Hajatu al ‘udhawiyah dapat berupa rasa lapar, haus dan kebutuhan  untuk buang hajat besar dan kecil, sementara gharizah berupa naluri beragama (gharizatu al-tadayun) yang perwujudannya berupa kecenderungan manusia untuk melakukan ibadah atau aktifitas mensucikan segala sesuatu yang dianggapnya besar; naluri  melangsungkan keturunan (gharizatu al nau’) dimana perwujudannya diantaranya berupa ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya; dan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatu al baqa’), yang salah satu wujudnya adalah keinginan manusia untuk menjadi pemimpin. Kebutuhan jasmani dan naluri itu menghendaki pemenuhan.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana caranya manusia memuaskan semua kebutuhan jasmani dan naluri-naluri itu. Di sinilah, sesuai dengan misi penciptaan manusia  sebagai abdullah dan khalifah Allah Swt,  upaya memenuhi dan menyalurkan segenap potensi kehidupan itu   juga senantiasa harus berlandaskan pada aturan-aturan Allah.  Maka, upaya memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan Allah berarti dengan sendirinya bertentangan dengan hakikat misi penciptaan manusia itu sendiri. 

Motivasi  Perbuatan Manusia Dalam Pandangan Syariah

             Perbuatan  yang dilakukan manusia (termasuk motivasi bekerja, tentu saja) tidak akan pernah keluar dari kedudukannya sebagai aktivitas untuk memenuhi  kebutuhan jasmani  dan naluri sebagai potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah Swt  kepada manusia. Kuat lemahnya dorongan manusia untuk melakukan suatu perbuatan, selain  ditentukan oleh motivasi (al-quwwah), sesungguhnya juga  sangat bergantung pada maksud perbuatan dan tujuan  (al qimah) yang menjadi dasar manusia dalam melakukan perbuatan.  Oleh karena itu, mengetahui dan membina motivasi serta tujuan yang sahih dan kuat  dengan mafhum (pemahaman) kehidupannya yang benar, agar setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat terlaksana dengan baik dan sempurna adalah suatu kemestian bagi setiap orang, tidak terkecuali para SDM Muslim.
Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam buku yang sama,  selanjutnya menguraikan  motivasi yang mendorong manusia  untuk melakukan perbuatan, yakni:
(1)   Motivasi fisik - material (al quwwah al madiyah).  Motivasi ini meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan untuk memenuhi keperluan jasmaninya. Bersifat lemah dan mudah hilang. Contohnya, orang yang lapar  biasanya didorong  oleh kebutuhan  jasmaninya untuk makan. Namun kadang dorongan tersebut dapat ditahan – misalnya karena  puasa - sehingga dorongan untuk makan tidak dipenuhi. Materi adakalanya juga tidak mampu  membangkitkan  seseorang  untuk melakukan aktivitas tertentu. Uang melimpah,  pangkat terhormat dan rumah mewah sekalipun tidak akan mampu memaksa seorang muslim untuk  bersumpah palsu di pengadilan, jika ia   takut untuk berdusta dan berdosa.
(2)   Motivasi emosional (al quwwah al ma’nawiyah).  Motivasi yang berupa  kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan ingin dimiliki seseorang ini   sekalipun   tidak permanen, namun lebih kuat  bila dibandingkan dengan motivasi pertama. Contohnya, perlawanan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang telah merusak nama baiknya, adalah perbuatan yang didorong oleh kondisi kejiwaan seseorang.                                       
(3)   Motivasi spiritual (al quwwah ar-ruhiyah). Kedua motivasi sebelumnya  sulit untuk dapat dijadikan  dorongan dasar bagi manusia untuk  melakukan tindak perbuatan. Penyebabnya terletak pada sifatnya yang cenderung temporal, mudah hilang dan bendawi semata.  Hal ini berbeda dengan motivasi spiritual yang berupa kesadaran seseorang bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah Swt. Dzat yang akan meminta pertanggungjawaban  manusia atas segala perbuatannya di dunia.  Motivasi inilah yang mampu  mendorong manusia untuk melakukan perbuatan apa saja, asalkan sesuai dengan syariat yang diberikan-Nya.

Dengan demikian, motivasi yang sahih dan kuat untuk  mendorong manusia dalam mewujudkan  aktivitas kehidupannya adalah Motivasi Spiritual (Ruhiyah). Dengan motivasi ini, seseorang akan terpacu untuk berikhtiar terus-menerus disertai dengan  tawakal  dan pantang berputus harapan  hingga akhirnya meraih keberhasilan  dengan izin Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang.  Inilah motivasi berprestasi yang sesungguhnya.

Tujuan Perbuatan Manusia

Hafiz Abdurrahman (1998) dalam bukunya Islam: Politik dan Spiritual, menandaskan bahwa tujuan perbuatan  juga mutlak harus difahami oleh setiap manusia. Sebab dengan begitu, nilai (tujuan/al qimah) yang ingin diwujudkan  dalam setiap perbuatan yang dilakukan manusia dapat terwujud dengan  baik dan sempurna. Tanpa adanya pemahaman tentang tujuan  perbuatan itu, seseorang tidak akan dapat menentukan apakah ia berhasil  ataukah tidak.
Berdasarkan  hukum-hukum syara’ yang memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan tertentu,  didapati  adanya nilai-nilai tertentu  yang diperintahkan agar dicapai ketika perbuatan tersebut dikerjakan. Nilai-nilai  itu adalah:
(1)   Nilai Materi (al qimah al madiyah).  Allah SWT memerintahkan bekerja (QS. Al Mulk: 15) dan  jual beli (QS.  Al Baqarah: 275)  adalah untuk  mendapatkan nilai materi.  Dimana nilai tersebut berupa  benda yang dapat diindera dan diraba, seperti uang, harta atau makanan.
(2)   Nilai Kemanusiaan (al qimah al insaniyah).  Nilai ini  berupa layanan manusia kepada sesama manusia. Misalnya,  membantu orang-orang yang kesulitan  materi, menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya. Semua ini dilakukan semata karena unsur kemanusiaan saja. Nilai ini diperintahkan Islam bukan  untuk mendapatkan keuntungan materi, namun   karena motivasi spiritual yang diperintahkan  oleh Allah SWT.
(3)   Nilai Akhlaq (al qimah al khuluqiyah). Nilai akhlaq akan dicapai oleh  setiap muslim manakala dalam setiap perbuatannya dihiasi dengan  sifat-sifat (akhlaq) yang diperintahkan Allah SWT. Sifat-sifat ini nampak  pada diri seorang muslim jika ia melakukan ibadah, muamalah, uqubat, makan dan minum sesuai  dengan perintah dan larangan Allah SWT.
(4)   Nilai Spiritual (al qimah ar-ruhiyah). Nilai spiritual dicapai dengan tujuan  agar (kesadaran) hubungan seseorang dengan Tuhannya dapat meningkat, apabila ia mengerjakan perbuatan tertentu. Nilai ini bersifat pribadi, sebab hanya dia yang dapat merasakannya, orang lain tidak.

Dari keempat nilai di atas, mana yang lebih utama?  Yang menentukan  bahwa nilai yang satu  lebih utama atau sama dibandingkan yang lain adalah hukum syara’, bukan manusia. Karena itu memahami hukum syara’ akan suatu perbuatan sudah menjadi kemestian bagi seorang muslim. Hal ini sebagaimana kaidah ushul  yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni  wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.

Perbuatan Seorang Muslim Adalah Perbuatan Prestatif

Dalam melakukan setiap perbuatan,  setiap muslim pastilah melewati tahapan berikut, yaitu (1) berawal dari naluri atau kebutuhan jasmani, (2), mengindera  dorongan yang muncul, apakah dari naluri atau kebutuhan jasmani, (3) menetapkan motivasi perbuatan, (4) berfikir tentang cara  memenuhi dorongan dengan benar, baik dan sempurna sesuai dengan koridor syariah, (5)   usaha untuk memenuhi naluri dan/atau kebutuhan jasmani, (6) berupaya mendapatkan nilai yang ingin dicapai.
Singkat kata, disamping dalam setiap beramal seorang muslim harus berusaha meraih al qimah yang dituju, upaya yang dilakukan itu haruslah sesuai dengan aturan Islam dan dilakukan dengan menyatukan antara materi (perbuatan) dengan ruh (motivasi ar-ruhiyah). Atau dengan kata lain, ketika melakukan sesuatu harus disertai dengan kesadaran hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud  dengan bahwa setiap perbuatan muslim adalah ibadah.
Kesimpulannya,   setiap perbuatan seorang muslim  telah dituntun sedemikian rupa sehingga motivasi  seorang muslim  sesungguhnya adalah motivasi berprestasi.  Muslim yang selalu membina diri dengan pemahaman kehidupan yang benar,  konsisten dengan amal kehidupan yang didorong motivasi yang  shahih berlandaskan pada  ketaatannya kepada Allah, Dzat  Yang Serba Maha, maka ia akan mewujud pada prototip SDM yang didambakan Islam.  SDM Muslim yang memiliki kematangan kepribadian  Islam (syakhsiyyah Islamiyyah),  melalui pola fikir dan pola sikap (perilaku) yang Islami serta profesional, yakni  kafa’ah (berkeahlian); himmatul ammah (beretos kerja tinggi); dan amanah (terpercaya).
Bila demikian adanya, kiranya tidaklah berlebihan bila dinyatakan bahwa mestinya SDM muslim adalah SDM  yang berprestasi. 
Wallahu a’lam bishshawab.

 


Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Urban and Regional Planning di Bandung. dan Peneliti di Syahid (Syari'ah Development) Institute.

Lada Putih di Antara Kejayaan dan Romantisme Sejarah

LADA PUTIH (MUNTOK WHITE PEPPER)  DIANTARA KEJAYAAN DAN ROMANTISME SEJARAH
Oleh
Asdianto, SP
(diberikan pada acara Pertemuan Program Regional Economic Development Support (REDS) 2011 di Bappenas linkages AIT Thailand)
PENDAHULUAN
Luas areal tanaman lada di Indonesia hampir seluruhnya dimiliki oleh perkebunan rakyat dimana pada tahun 2008 tercatat seluas 190.777 ha dengan total potensi produksi sekitar 79.726 ton. Di antara negara-negara produsen lada dunia, Indonesia termasuk salah satu produsen utama dunia bersama-sama dengan India, Malaysia dan Brazil. Namun, selama 10 tahun terakhir, kontribusi lada Indonesia di pasar dunia semakin menurun. Ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2000, yaitu 63.938 ton (37% dari total ekspor dunia) dimana 34.256 ton atau 53,6%-nya merupakan lada putih asal Bangka-Belitung atau dikenal sebagai Muntok White pepper.   
Pada tahun 2008, total ekspor lada putih Bangka Belitung sekitar 5.109,50 ton (AELI, 2009) atau terjadi penurunan sekitar 85,1% selama periode 2000-2008. Selain disebabkan oleh tidak kondusifnya kondisi pertanaman lada di lapangan, juga akibat ancaman dari negara-negara pesaing mulai terjadi, terutama Vietnam. Pada tahun 2003, Vietnam mulai mampu mengekspor lada putihnya sebanyak 4.500 ton dan meningkat menjadi 13.000 ton pada kwartal III tahun 2007 (Vietnam Pepper Association, 2007). Pada tahun yang sama,  Indonesia hanya mampu mengekspor lada putih sebanyak 8.177 ton (AELI, 2009).
Sebagai komoditas ekspor, lada mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga perspektif tanaman lada terhadap ekonomi daerah maupun nasional sangat besar. Di samping sebagai sumber devisa juga sebagai penyedia lapangan kerja dan pemenuhan bahan baku industri. Oleh karena itu, upaya mengembalikan kejayaan Muntok White Peper, yang saat ini produksinya jauh dari kondisi optimal merupakan langkah strategis bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mengembalikan posisi Indonesia umumnya dan Bangka Belitung khususnya sebagai produsen dan eksportir lada putih terbesar dunia. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa langkah yang fundamental yang perlu dilakukan untuk mengembalikan kejayaan Muntok White Peper di Provinsi Kep. Bangka Belitung.

MENCERMATI KONDISI PERKEBUNAN LADA
DI BANGKA BELITUNG
            Sejak lama Bangka Belitung terkenal sebagai penghasil lada putih atau Muntok White Pepper kelas dunia. Bertanam Lada telah dilaksanakan secara turun menurun dan sudah merupakan budaya bagi masyarakat Bangka Belitung. Komoditi Lada memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perekonomian daerah. Namun demikian, produksi lada di Provinsi Bangka Belitung terus merosot hingga menjadi 17.000 ton pada tahun 2006. Angka ini hanya 27% dari total produksi pada massa kejayaan lada tahun 1987, yaitu sekitar 62.000 ton.    
Luas Areal Perkebunan Lada pada tahun 2000 tercatat sekitar 80.000 hektar, namun pada tahun 2007 berkurang menjadi  35.842,44 ha atau secara total berkurang 55,20%.  Diperkirakan areal pertanaman lada tersebut terus berkurang hingga mencapai 70% selama periode 2000 – 2008. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari munculnya usaha penambangan timah inkonvensional yang lebih menjanjikan  dan semakin marak sehingga mendorong para petani lada beralih menjadi penambang timah, dan bahkan ratusan hektar kebun lada berubah menjadi  lahan tambang. Selain itu, persaingan dengan usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit juga merupakan pemicu terjadinya penurunan areal pertanaman lada di Provinsi Kepuluan Bangka Belitung.
Di samping itu, produktivitas kebun lada rakyat saat ini hanya sekitar 800 hingga 1.000 kilogram per hektar. Produktivitas ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas pada tahun 1986 yang bisa mencapai 2,1 ton per hektar. Kondisi ini menyebabkan petani semakin tidak bergairah memelihara tanaman lada. Lahan yang dahulu banyak humusnya sekarang sudah semakin berkurang. Teknik budidaya lada juga belum beranjak dari pola tradisional sehingga hasilnya tetap rendah. Situasi seperti ini menyebabkan ekspor lada dari daerah ini terus menurun dalam beberapa tahun ini.
Pada tahun 2001, volume ekspor lada tercatat 28,986 ton dengan nilai 60,1 juta dollar AS. Ekspor ini turun menjadi 24.968 ton atau senilai 45,7 juta dolar AS pada tahun 2002, kemudian menjadi 16,766 ton dengan nilai 44,2 juta dollar AS pada tahun 2003. Tahun 2004 volume ekspor hanya 11,188.50 ton dengan nilai 2,5 juta dollar AS. Penurunan volume ekspor tersebut juga disebabkan harga lada yang tak kunjung membaik beberapa tahun terakhir ini menyebabkan petani enggan memelihara kebun lada secara intensif sehingga produktivitasnya anjlok.
Sejumlah petani mengakui, keterpurukan komoditas lada sekarang disebabkan oleh banyak  faktor, antara lain; (1) Tingkat produktivitas tanaman dan mutu yang rendah, (2) Tingkat harga lada yang relatif rendah, sementara harga sarana produksi (pupuk dan pestisida) relatif tinggi/mahal, (3) Tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit, (4) Masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk, (5) Sumberdaya petani baik pengetahuan maupun permodalan masih lemah/terbatas ketersediaannya, dan (6) Semakin menurunnya luas areal pertanaman lada karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit.
Kondisi seperti yang tergambar di atas, patut disayangkan karena lada pernah menjadi komoditas unggulan berabad-abad silam, bahkan menjadi trade mark Bangka Belitung di mancanegara. Lada yang mulai dibudidayakan di Bangka Belitung sekitar abad XVI itu pernah menjadi salah satu daya tarik bangsa Eropa datang ke Bangka Belitung. Saat ini komoditi lada kembali menjadi sangat penting, mengingat deposit timah semakin berkurang sehingga petani mulai memperhatikan kembali pertanaman lada dalam menopang ekonomi keluarganya. Oleh karena itu, saat ini pemerintah telah membuat kebijakan konkret untuk menyelamatkan dan mengembangkan kembali komoditas lada yang pernah menjadi unggulan selama ratusan tahun di wilayah Kepulauan Bangka Belitung.



LANGKAH-LANGKAH FUNDAMENTAL
Upaya mengembalikan kejayaan Muntok White Pepper diperlukan beberapa langkah yang fundamental. Langkah tersebut antara lain adalah peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan. Akhir-akhir ini banyak kalangan pengamat mulai mengkhawatirkan keberlanjutan pasokan lada putih Bangka Belitung di pasar global pada tahun-tahun yang akan datang karena produksi dan produktivitasnya terus menurun. Oleh karena itu, perbaikan teknologi budidaya dan pascapanen lada di tingkat petani sangat diperlukan agar produk lada mampu bersaing secara kompetitif dalam proses produksi dengan negara-negara penghasil lada lainnya.
Demikian halnya pemberdayaan kelembagaan petani lada di Bangka Belitung perlu dilakukan karena umumnya petani yang mengusahakan tanaman lada memiliki banyak keterbatasan. Pemberdayaan kelompok tani akan menjadi salah satu faktor penting dalam upaya meningkatkan daya saing produk yang  mereka hasilkan. Pemberdayaan kelompok tani selain diharapkan akan menunjang produktivitas kebun lada juga dapat meningkatkan mutu dan mengurangi masalah keragaman produk yang dihasilkan oleh masing-masing petani kecil, khususnya dari segi mutu.
Langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi kebun-kebun lada  yang rusak/tidak produktif. Sebagian besar petani dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya, umumnya tidak akan mampu melakukan rehabilitasi secara swadaya. Keberpihakan Pemerintah ke petani tetap diperlukan baik secara langsung maupun tak langsung melalui kebijakan subsidi atau intermediasi dengan lembaga keuangan dan stakeholder lainnya. Artinya, pemerintah harus berbuat secara efektif dalam membantu rehabilitasi tanaman lada rakyat sehingga dalam waktu 3-4 tahun ke depan, produktivitas perkebunan  lada di Kep. Bangka Belitung akan meningkat kembali secara signifikan.
Langkah lainnya yang tidak kalah penting adalah mencari pasar ekspor tambahan atau alternatif dengan tetap menjaga pasar yang ada dalam kerangka penetrasi pasar. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara-negara tujuan ekspor utama lada saat ini terimbas krisis finansial global, yang dikhawatirkan akan menurunkan impor mereka. Dengan demikian untuk mempertahankan kinerja ekspor lada putih diperlukan upaya mencari pasar-pasar alternatif di negara-negara lain.
Selain itu, dalam rangka memperkuat posisi pasar ekspor ke depan, maka pasar domestik juga perlu digarap secara maksimal termasuk industri hilirnya dengan mengembangkan berbagai ragam produk lada putih yang sesuai dengan selera pasar. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena konsumsi lada Indonesia saat ini sekitar 70 gram per kapita, berarti kebutuhan lada penduduk Indonesia sebanyak 230 juta jiwa adalah 16.100 ton per tahun.       Untuk mendukung langkah -langkah fundamental tersebut, maka akan disusun rencana aksi untuk pengembangan lada putih di Kepulauan Bangka Belitung  untuk jangka waktu 2009 – 2012 atau disebut sebagai ”Gerakan Pengembangan Lada Putih (Gerbang Latih)”. Gerakan ini akan diwujudkan dalam bentuk 5 program sebagai berikut:
1.      Program Intensifikasi, Ekstensifikasi dan Rehabilitasi Lada
            Program ini akan diwujudkan dalam 3 bentuk kegiatan yaitu intensifikasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lada masing-masing seluas 2000, 2000 dan 1000 ha. Kegiatan intensifikasi yang direncanakan seluas 2000 ha, akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2009 – 2012 dengan rincian 100 ha pada tahun 2009, 900 ha (2010), 500 ha (2011) dan 500 ha (2012). Kegiatan ini akan di laksanakan melalui penyediaan benih, pupuk (organik dan anorganik), pestisida dan tajar hidup.
Kegiatan rehabilitasi akan dilaksanakan pada lahan seluas 2000 ha dengan rincian 100 ha pada tahun 2009, 1000 ha (2010), 500 ha (2011) dan 400 ha (2012). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih, pupuk (organik dan anorganik), pestisida dan tajar hidup. Untuk pelaksanaannya akan dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dengan dana dari APBN.
Ekstensifikasi tanaman lada direncanakan secara bertahap seluas 1000 ha, dimana pada tahun 2009 akan direalisasikan seluas 250 ha dan 750 ha pada tahun 2010. Dari luasan tersebut, 150 ha diantaranya merupakan reklamasi lahan eks tambang yang akan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu 50 ha pada tahun 2009 dan 100 ha pada tahun 2010. Seperti pada kegiatan sebelumnya, pelaksanaan dari kegiatan ini juga diwujudkan melalui penyediaan benih, pupuk, pestisida dan tajar hidup. Kegaiatan ini akan dimotori oleh Dinas Perkebunan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan memanfaatkan dana dari APBD.
2.    Pengembangan industri benih, biopestisida dan pupuk organik
      Untuk mendukung program ini, maka akan dilakukan kegiatan:
·            Penyediaan benih sumber
·            Pengembangan Kebun Induk
·            Pembinaan penangkar benih
·            Pengembangan biopestisida dan pupuk organik

3.    Pengembangan Industri Pengolahan
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
·       Penyediaan unit pengolah lada putih
·       Pembinaan Good Manufacturing Practices (GMP)
·       Pengembangan Pengolahan Lada bubuk dan diversifikasi produk

4.    Penguatan Kelembagaan dan Diseminasi
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
  • Pembinaan sekolah lapang
  • Pembinaan kelembagaan pemasaran
  • Pemberdayaan tenaga penyuluh dan pendamping
  • Pembinaan  lembaga usahatani
  • Pengembangan diseminasi Good Agriculture Practices (GAP) lada
  • Promosi dan ekspose teknologi
5.    Kebijakan Makro
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
·       Kebijakan penyediaan permodalan
·       Kebijakan alokasi anggaran khusus
·       Pemantapan database (indikasi geografis, statistik dll)
·       Kebijakan pengembangan industri hilir
Untuk melaksanakan program-program seperti yang telah diuraikan di atas, maka akan dilibatkan berbagai pihak antara lain Badan Litbang Pertanian (Puslitbang Perkebunan, BBSDL, BB Pasca Panen, BB Mektan, Puslitbangnak, Balittri dan BPTP), Ditjen Perkebunan, Ditjen P2HP, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Pemda Provinsi dan Kabupaten (Disbun) dan BUMD, FAO dan stakeholder lainnya.

PENUTUP
            Kondisi perkebunan lada di Bangka Belitung sudah sangat mengkhawatirkan, dimana terjadi penurunan produksi dan luas areal pertanaman yang sangat signifikan sebagai akibat terjadinya konversi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta minimnya perawatan tanaman. Untuk mengembalikan kejayaan Muntok White Pepper yang sudah dikenal di dunia internasional, dibutuhkan langkah-langkah konkrit, bertahap dan berkelanjutan seperti ”Gerakan Pengembangan Lada Putih (Gerbang Latih)”. Namun, untuk mensukseskan gerakan ini, dukungan dan peran serta dari berbagai pihak sangat diperlukan.


                                                                              
Penulis adalah Pemerhati dunia Pertanian yang bekerja di Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Bidang Perencanaan- Program dan Anggaran, 2011.