Bolehkah Menikahi Wanita Hamil?
Oleh : Moh. Harist Al Muhasiby
Soal:
Bagaimana hukum menikahi dan menikahkan wanita yang
hamil di luar nikah?
Jawab:
Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama: wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang
hendak menikahi dirinya. Kedua: wanita
tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan orang
lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan
pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya
ada tiga pendapat. Pertama: haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan
Zafar dari mazhab Hanafi;1 termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah. Kedua: boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah
dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.2 Ketiga: boleh dinikahi dengan syarat: (1)
kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2)
bertobat dengan tobatan nashuha. Ini
merupakan pendapat mazhab Hanbali.3
1. Dalil Kelompok Pertama.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan
musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina
atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas
oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain.
Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para
fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang
bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah
dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang
menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat
dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika
tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan
mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian
Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas
orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).”
Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu
Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).
Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa: pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu
telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan
keduanya.” 4
Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir
untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain (HR Abu
Dawud).
Selain itu, kelompok ini berpendapat
bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar
kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina)
sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur
aduk dengan air kemuliaan.5
Mazhab Maliki juga beragumen dengan
pendapat Ibn Mas’ud ra. yang
menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan
seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah
berzina selama-lamanya.” 6
2. Dalil Kelompok Kedua.
Pertama: Firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا
بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri
dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina (QS an-Nisa’
[4]: 24).
Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang
menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab,
Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu
Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan
wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan
dari ‘Umar, “Seorang pria telah menikahi wanita.
Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak
laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil.
Ketika ‘Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun
menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan
sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak
laki-laki tersebut menolaknya.” 7
3. Dalil Kelompok Ketiga.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin
(QS an-Nur
[24]: 3).
Alasannya,
keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum
bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis
Nabi saw. yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak
mempunyai dosa (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya,
Al-Mughni)8
Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu
Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Dari ketiga pendapat di atas,
menurut hemat kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan
oleh mazhab Hanbali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil
dibolehkan dengan syarat:
1. Kehamilannya telah berakhir, atau
masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja
pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena
tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan,
jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci
yang membawa konsekuensi: Pertama, nasab.
Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka
pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya. Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status
hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya
rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan
kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui.
WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, III/241 dan
242; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar,
II/52 dan 53; Ibn al-Maudud, Al-Ikhtiyar, III/87.
2 Ibid.
3 Ad-Dardir,
As-Syarh ash-Shaghir, II/410; al-Bahuti, Kassafu al-Qana’, V/83;
Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, VI/604; Ibn
Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/110.
4 Ibn
Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.,
IX/514.
5
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, XII/170; ad-Dardir, Asy-Syarh
ash-Shaghir, II/410 dan 717.
6 Yahya
‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi as-Syari’ah
al-Islamiyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar