MENGGAGAS MOTIVASI BERPRESTASI SDM MUSLIM
Mohammad Harist Al-Muhasiby
Pembahasan motivasi
dalam manajemen sumberdaya manusia kerap membawa nama Abraham Harold Maslow. Maslow – seorang humanis keturunan Yahudi Rusia penyandang gelar “Humanist
of The Year” 1966 versi American Humanist Association – banyak dihubungkan
dengan teori motivasi, khususnya dengan
pendekatan content. Dalam bukunya, A Theory of Motivation (1943)
sebagaimana yang dikutip oleh Mursi (1998), ia mencoba menjawab sejumlah pertanyaan seperti:
kebutuhan-kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh orang-orang? Apa yang
mendorong mereka untuk bertindak?
Menurutnya, setiap individu mempunyai
kebutuhan mendalam yang mendorong, menekan, atau memotivasikan mereka untuk
menguranginya atau memenuhinya. Artinya, para individu akan bertindak atau
berkelakuan dengan cara-cara yang akan membawa mereka kepada kepuasan dari
kebutuhan-kebutuhan mereka. Kebutuhan manusia diuraikan Maslow secara hirarkis sebagai
berikut:
(1) Kebutuhan fisiologis (physiological
needs), yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik,
bernapas, dan seksual. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang
paling dasar.
(2) Kebutuhan
rasa aman (safety and security),
yaitu kebutuhan akan perlindungan dari
ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup.
(3) Kebutuhan
untuk merasa memiliki (belongingness),
yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan
kebutuhan untuk mencintai serta dicintai.
(4) Kebutuhan
akan harga diri (esteem), yaitu
kebutuhan untuk dihormati, dan dihargai oleh orang lain.
(5) Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualization), yaitu kebutuhan
untuk menggunakan kemampuan, skill,
dan potensi.
Dengan hirarki seperti ini, seorang karyawan
yang membutuhkan keberhasilan dapat
dimotivasi untuk bekerja beberapa jam lebih banyak untuk menyelesaikan
suatu tugas yang sulit tepat pada waktunya; seorang pegawai yang membutuhkan
penghargaan diri akan dimotivasikan untuk bekerja dengan sangat hati-hati untuk
menghasilkan suatu pekerjaan dengan kualitas yang tinggi. Selanjutnya, Maslow
mengemukakan bahwa orang dewasa secara normal memuaskan kira-kira 85 persen
kebutuhan fisiologisnya, 70 persen kebutuhan rasa aman, 50 persen kebutuhan
untuk memiliki dan mencintai, 40 persen kebutuhan harga diri, dan hanya 10
persen dari kebutuhan aktualisasi diri.
Setelah delapan belas tahun Maslow
memunculkan teorinya, David C. McClelland (1961), psikolog Amerika dari Universitas
Harvard merilis teori motivasi baru:
motivasi berprestasi. Motivasi ini (achievement motive)
diartikan sebagai " is
impetus to do well relative to some
standard of excellence"
(Jhonson, 1984). Suatu
dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan
suatu aktivitas dengan
sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Dalam teori
ini, dikemukakan bahwa produktivitas
seseorang sangat ditentukan oleh "virus mental" yang ada pada dirinya.
Virus mental yang dimaksud adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk
mampu mencapai prestasinya secara maksimal. Virus itu terdiri dari 3 dorongan
kebutuhan, yaitu: need of achievement, need
of affiliation, dan need of power.
McClelland memfokuskan perhatian pada
pembinaan virus mental manajer. Caranya adalah melalui pengembangan potensi
mereka dalam lingkungan kerja secara efektif. Dengan cara ini diharapkan
produktivitas perusahaan yang
berkualitas tinggi dapat terwujud hingga tujuan utama perusahaan dapat tercapai.
Dari penelitiannya –
juga Murray (1957) serta Miller dan Gordon (1970) - dapat disimpulkan
terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan pencapaian
prestasi. Artinya, manajer yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung
memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya
mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi
berprestasinya juga rendah. Dan
ternyata, motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan dua faktor,
yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. IQ merupakan kemampuan
potensi dan kepribadian merupakan
kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat
menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Artinya, orang
akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang
memadai dan kepribadian yang dewasa. Ia akan mampu mencapai prestasi maksimal.
Meskipun teori-teori ini kelihatannya
sangat sederhana, namun dalam prakteknya pengertian motivasi saat ini telah
berkembang jauh lebih kompleks. Mursi (1998)
melalui bukunya SDM yang Produktif: Pendekatan Al Qur’an dan Sains,
bahkan menilainya telah usang. Alasannya:
(1) Hirarki
kebutuhan-kebutuhan itu berbeda-beda
di antara para individu, dan ia juga berganti-ganti
sepanjang waktu.
(2) Cara-cara kebutuhan-kebutuhan tersebut
diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan juga berbeda-beda di antara
para individu.
(3) Orang tidak selalu bertindak atas dasar kebutuhan mereka terus-menerus,
dan kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi mereka berbeda-beda dari waktu ke waktu.
(4) Reaksi dari para individu
untuk memenuhi kebutuhan atau untuk tidak memenuhinya akan
berbeda-beda.
Makin banyak kita mengenal orang-orang
di sekitar kita, maka makin mampu kita untuk mengerti tentang
kebutuhan-kebutuhannya dan tentang apa yang akan memotivasi mereka. Tetapi,
perilaku manusia tergantung kepada demikian banyak kompleksitas dan
alternatif-alternatif, sehingga kita pasti akan sering kali membuat
kesalahan-kesalahan dalam membuat perkiraan-perkiraan.
Koreksi Mursi
setidaknya memberikan gugahan untuk menyoal kembali keberadaan motivasi dalam
diri seorang muslim. Seberapa tepat pendapat duo Maslow dan McClelland akan kebutuhan manusia yang
abai akan aspek ruhiyah? Selalukah
aktivitas manusia didasari atas motivasi bendawi?
Lalu, bagaimana halnya
dengan motivasi SDM Muslim? Tidakkah
motivasi berprestasi telah menjadi suatu potensi yang fitrah ada dalam setiap
diri SDM Muslim? Ataukah memang motivasi berprestasi adalah sesuatu yang asing
sehingga telah menjadi “kemakluman bersama” bila kebanyakan SDM Muslim
diidentikkan pada prototip SDM yang minus motivasi berprestasi hingga emoh
beretos kerja tinggi? Bagaimana sesungguhnya kaitan kebutuhan manusia sebagai potensi kehidupan
dengan motivasi dalam pandangan syariah?
Untuk menjawabnya, uraian berikut
mencoba memaparkan hakikat
motivasi ditinjau dari sudut pandang
syariah.
Pemahaman akan Potensi Kehidupan
Sebagaimana telah diketahui, ketika menciptakan manusia, Allah SWT melengkapinya dengan potensi-potensi kehidupan (thaqatun hayawiyatun) yang secara fitri
akan mendorongnya untuk beraktifitas mewujudkan misi penciptaannya sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya. Potensi kehidupan yang dimaksud, menurut Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam
bukunya Al Fikru Al Islamy, berupa hajatu al ‘udhawiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri).
Hajatu al
‘udhawiyah dapat berupa rasa lapar, haus dan kebutuhan untuk buang hajat besar dan kecil, sementara gharizah berupa naluri beragama (gharizatu al-tadayun) yang
perwujudannya berupa kecenderungan manusia untuk melakukan ibadah atau
aktifitas mensucikan segala sesuatu yang dianggapnya besar; naluri melangsungkan keturunan (gharizatu al nau’) dimana perwujudannya diantaranya berupa
ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya; dan naluri untuk mempertahankan
diri (gharizatu al baqa’), yang salah
satu wujudnya adalah keinginan manusia untuk menjadi pemimpin. Kebutuhan
jasmani dan naluri itu menghendaki pemenuhan.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana caranya
manusia memuaskan semua kebutuhan jasmani dan naluri-naluri itu. Di sinilah,
sesuai dengan misi penciptaan
manusia sebagai abdullah dan khalifah
Allah Swt, upaya memenuhi dan
menyalurkan segenap potensi kehidupan itu
juga senantiasa harus berlandaskan pada aturan-aturan Allah. Maka, upaya memenuhi kebutuhan jasmani dan
naluri dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan Allah berarti dengan
sendirinya bertentangan dengan hakikat misi penciptaan manusia itu
sendiri.
Motivasi Perbuatan Manusia Dalam Pandangan Syariah
Perbuatan yang dilakukan manusia
(termasuk motivasi bekerja, tentu saja) tidak akan pernah keluar dari
kedudukannya sebagai aktivitas untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan naluri
sebagai potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Kuat lemahnya dorongan manusia
untuk melakukan suatu perbuatan, selain
ditentukan oleh motivasi (al-quwwah),
sesungguhnya juga sangat bergantung pada
maksud perbuatan dan tujuan (al qimah) yang menjadi dasar manusia
dalam melakukan perbuatan. Oleh karena
itu, mengetahui dan membina motivasi serta tujuan yang sahih dan kuat dengan mafhum
(pemahaman) kehidupannya yang benar, agar setiap perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang dapat terlaksana dengan baik dan sempurna adalah suatu kemestian
bagi setiap orang, tidak terkecuali para SDM Muslim.
Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam buku yang sama, selanjutnya menguraikan motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan, yakni:
(1)
Motivasi fisik - material (al quwwah al madiyah). Motivasi ini meliputi tubuh manusia dan alat
yang diperlukan untuk memenuhi keperluan jasmaninya. Bersifat lemah dan mudah
hilang. Contohnya, orang yang lapar
biasanya didorong oleh kebutuhan jasmaninya untuk makan. Namun kadang dorongan
tersebut dapat ditahan – misalnya karena
puasa - sehingga dorongan untuk makan tidak dipenuhi. Materi adakalanya
juga tidak mampu membangkitkan seseorang
untuk melakukan aktivitas tertentu. Uang melimpah, pangkat terhormat dan rumah mewah sekalipun
tidak akan mampu memaksa seorang muslim untuk
bersumpah palsu di pengadilan, jika ia
takut untuk berdusta dan berdosa.
(2) Motivasi emosional (al quwwah al ma’nawiyah). Motivasi yang berupa kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan
ingin dimiliki seseorang ini sekalipun tidak permanen, namun lebih kuat bila dibandingkan dengan motivasi pertama.
Contohnya, perlawanan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang
telah merusak nama baiknya, adalah perbuatan yang didorong oleh kondisi
kejiwaan seseorang.
(3) Motivasi spiritual (al quwwah ar-ruhiyah). Kedua
motivasi sebelumnya sulit untuk dapat
dijadikan dorongan dasar bagi manusia
untuk melakukan tindak perbuatan.
Penyebabnya
terletak pada sifatnya yang cenderung temporal, mudah hilang dan bendawi
semata. Hal ini berbeda dengan motivasi
spiritual yang berupa kesadaran seseorang bahwa ia memiliki hubungan dengan
Allah Swt. Dzat yang akan meminta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya di
dunia. Motivasi inilah yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan
apa saja, asalkan sesuai dengan syariat yang diberikan-Nya.
Dengan demikian, motivasi yang sahih dan kuat untuk mendorong manusia dalam mewujudkan aktivitas kehidupannya adalah Motivasi
Spiritual (Ruhiyah). Dengan motivasi ini, seseorang akan terpacu untuk
berikhtiar terus-menerus disertai dengan
tawakal dan pantang berputus
harapan hingga akhirnya meraih
keberhasilan dengan izin Allah Yang Maha
Pemurah lagi Penyayang. Inilah motivasi
berprestasi yang sesungguhnya.
Tujuan Perbuatan Manusia
Hafiz Abdurrahman (1998) dalam bukunya Islam: Politik dan Spiritual,
menandaskan bahwa tujuan perbuatan juga
mutlak harus difahami oleh setiap manusia. Sebab dengan begitu, nilai (tujuan/al qimah) yang ingin diwujudkan dalam setiap perbuatan yang dilakukan manusia
dapat terwujud dengan baik dan sempurna.
Tanpa adanya pemahaman tentang tujuan
perbuatan itu, seseorang tidak akan dapat menentukan apakah ia berhasil ataukah tidak.
Berdasarkan hukum-hukum syara’ yang
memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan tertentu, didapati
adanya nilai-nilai tertentu yang
diperintahkan agar dicapai ketika perbuatan tersebut dikerjakan. Nilai-nilai itu adalah:
(1)
Nilai Materi (al qimah al madiyah). Allah SWT memerintahkan bekerja (QS. Al Mulk:
15) dan jual beli (QS. Al Baqarah: 275) adalah untuk
mendapatkan nilai materi. Dimana
nilai tersebut berupa benda yang dapat
diindera dan diraba, seperti uang, harta atau makanan.
(2)
Nilai Kemanusiaan (al qimah al insaniyah). Nilai ini
berupa layanan manusia kepada sesama manusia. Misalnya, membantu orang-orang yang kesulitan materi, menyelamatkan orang yang tenggelam,
dan sebagainya. Semua ini dilakukan semata karena unsur kemanusiaan saja. Nilai
ini diperintahkan Islam bukan untuk
mendapatkan keuntungan materi, namun
karena motivasi spiritual yang diperintahkan oleh Allah SWT.
(3)
Nilai Akhlaq (al qimah al khuluqiyah). Nilai akhlaq akan dicapai oleh setiap muslim manakala dalam setiap
perbuatannya dihiasi dengan sifat-sifat
(akhlaq) yang diperintahkan Allah SWT. Sifat-sifat ini nampak pada diri seorang muslim jika ia melakukan
ibadah, muamalah, uqubat, makan dan minum sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
(4)
Nilai Spiritual (al qimah ar-ruhiyah). Nilai spiritual dicapai dengan tujuan agar (kesadaran) hubungan seseorang dengan
Tuhannya dapat meningkat, apabila ia mengerjakan perbuatan tertentu. Nilai ini
bersifat pribadi, sebab hanya dia yang dapat merasakannya, orang lain tidak.
Dari keempat nilai di atas, mana yang lebih
utama? Yang menentukan bahwa nilai yang satu lebih utama atau sama dibandingkan yang lain
adalah hukum syara’, bukan manusia. Karena itu memahami hukum syara’ akan suatu
perbuatan sudah menjadi kemestian bagi seorang muslim. Hal ini sebagaimana
kaidah ushul yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”, yakni hukum asal
suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
Perbuatan Seorang Muslim Adalah
Perbuatan Prestatif
Dalam melakukan setiap perbuatan, setiap muslim pastilah melewati tahapan
berikut, yaitu (1) berawal dari naluri atau kebutuhan jasmani, (2),
mengindera dorongan yang muncul, apakah
dari naluri atau kebutuhan jasmani, (3) menetapkan motivasi perbuatan, (4)
berfikir tentang cara memenuhi dorongan
dengan benar, baik dan sempurna sesuai dengan koridor syariah, (5) usaha untuk memenuhi naluri dan/atau
kebutuhan jasmani, (6) berupaya mendapatkan nilai yang ingin dicapai.
Singkat kata, disamping dalam setiap beramal seorang muslim
harus berusaha meraih al qimah yang
dituju, upaya yang dilakukan itu haruslah sesuai dengan aturan Islam dan
dilakukan dengan menyatukan antara materi (perbuatan) dengan ruh (motivasi ar-ruhiyah).
Atau dengan kata lain, ketika melakukan sesuatu harus disertai dengan kesadaran
hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud
dengan bahwa setiap perbuatan muslim adalah ibadah.
Kesimpulannya,
setiap perbuatan seorang muslim
telah dituntun sedemikian rupa sehingga motivasi seorang muslim sesungguhnya adalah motivasi
berprestasi. Muslim yang selalu membina
diri dengan pemahaman kehidupan yang benar,
konsisten dengan amal kehidupan yang didorong motivasi yang shahih berlandaskan pada ketaatannya kepada Allah, Dzat Yang Serba Maha, maka ia akan mewujud pada
prototip SDM yang didambakan Islam. SDM Muslim yang memiliki kematangan kepribadian Islam (syakhsiyyah
Islamiyyah), melalui pola fikir dan
pola sikap (perilaku) yang Islami serta profesional, yakni kafa’ah
(berkeahlian); himmatul ammah
(beretos kerja tinggi); dan amanah
(terpercaya).
Bila demikian adanya, kiranya tidaklah berlebihan bila
dinyatakan bahwa mestinya SDM muslim adalah SDM
yang berprestasi.
Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Urban and Regional Planning di Bandung. dan Peneliti di Syahid (Syari'ah Development) Institute.