Hukum Islam Tentang Nikah Siri
Oleh. (Asdianto) Aa’
Harist
Keinginan
pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri,
kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini
akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai
di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya
akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta
rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan
atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap
penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat
dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara.
Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga
diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari,
1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang
melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan
pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak
keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini
juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri?
Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang
melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama
namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi
pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan
yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan
yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah
sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta
pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan
pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya
Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230
hadits ke 2648].
Berdasarkan
dalalah al-iqtidla’,
kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak
sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini
dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير
إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل ,
فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin
walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang
lima kecuali
Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke
2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لا تزوج المرأة
المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.
Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab,
sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya
sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir,
dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara,
pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga
Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri
kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat
namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua
hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2)
hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang
baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama,
meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya; kedua,
mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain
sebagainya; ketiga,
melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu
lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah
ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya
berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia
lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.
Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang
saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan
seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam
pencatatan sipil.
Adapun
berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka
kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya,
fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang
bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah
satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau
orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh
negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa
satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah
dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain
selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar),
dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa,
orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari
saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui
sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya
karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau
tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir
dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang
dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang
mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada
lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada
saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak
bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan
keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.
Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa
hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga
memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak
pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau,
atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun
perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam
al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ
فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika
mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah
peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat.
Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya)
mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur
urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah,
eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur
urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh
khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam
urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak
mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan
jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk
membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang
melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan
denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah
juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta
ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia
berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal
tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan
tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan
tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang
melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan.
Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk
mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang
menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan
lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.
Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan
pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah
menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan
kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang
diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara
syar’iy absah menjatuhkan sanksi
mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum
Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau
orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak
memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak
ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya
dengan bai’at in’iqad dan
taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari
rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak
memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih
lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur
alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan
memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus
semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya
dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di
luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang
tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada
orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan
pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi
saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah
walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan
Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari
penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah
di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan
kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua
mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah
atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang
tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya
fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul
dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan
siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai
pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus
yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan
sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu,
anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat
serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan
implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah
acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah
masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan
Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah,
bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek
menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak
melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih
memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau
sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan
pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya
secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau
hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini
terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan
perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah.
Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka
sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji
mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap
tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka
masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah.
Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan
pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga
berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin
memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran
surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru
disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan
perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan
suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar