بسم
الله الرحمن الرحيم
BADAI MASALAH
SEPUTAR RUU PELAYARAN
SIAPA
YANG DIUNTUNGKAN ?
Oleh : Asdianto
(Moh. Harist Al Muhashiby)
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengatakan
keterlibatan pemda dan swasta dalam pengelolaan pelabuhan itu diatur dalam rancangan
undang-undang (RUU) Pelayaran.
Dengan adanya aturan itu, paparnya, Menhub menepis
anggapan bahwa pemerintah tidak akomodatif terhadap kepentingan pelaku usaha
yang ingin menjalankan bisnis kepelabuhanan.
"Di pelabuhan ada yang disebut DLKP [daerah
lingkungan kepentingan pelabuhan] dan DLKR [daerah lingkungan kerja pelabuhan]
dan nantinya yang memetakan adalah pemegang otoritas pelabuhan. Dengan cara itu, akan diketahui mana wilayah yang bisa
dikuasai oleh Pelindo dan mana yang tidak," katanya,
Dari pemetaan itu, paparnya, juga akan diketahui wilayah
pelabuhan yang bisa dikelola oleh pemda dan swasta. Rencananya, aturan itu akan
dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.
"Dalam menanamkan modalnya, pemda pun nanti bisa
menggandeng pihak swasta ataupun BUMN dalam pengelolaan usaha kepelabuhanan.
Ini adalah mekanisme baru yang ada dalam RUU Pelayaran, yang sedang dibahas di
DPR," ujarnya.
JAKARTA (Bisnis): Pendapatan usaha Pelabuhan Indonesia
I, II, III, dan IV diperkirakan menyusut hingga 50% akibat berkurangnya lahan
usaha yang akan digarap setelah pemberlakuan UU Pelayaran.
Hendra Budhi, juru bicara Pelindo II, mengatakan pada
2007 laba Pelindo I, II, III, dan IV yang tercatat mencapai Rp 2,254 triliun,
sedangkan aset yang dimiliki BUMN pelabuhan itu mencapai Rp 8 triliun.
........ Dia mengatakan Pelindo hanya akan berperan
sebagai operator terminal, sementara kegiatan pelabuhan dikelola oleh
pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan. Sebelum revisi UU Pelayaran, kata
Hendra, BUMN ini juga menjalankan fungsi selain sebagai operator terminal, juga
mengusahakan perawatan infrastrutur, pengembangan pelabuhan, dan kerja sama
penyewaan lahan di areal pelabuhan.
“Kondisi ini, otomatis memangkas pendapatan Pelindo
sekitar 50%-60% karena pekerjaan Pelindo juga akan berkurang,” ujarnya.
(Bisnis/k1).
Fraksi-PKS Online: Pemerintah dan DPR menyepakati
pengelolaan pelabuhan komersial dan nonkomersial dilakukan secara terpisah oleh
dua badan khusus. Dalam pembahasan RUU Pelayaran itu, DPR diwakili oleh
sejumlah anggota Komisi V yang tergabung dalam panitia kerja (Panja).
Abdul Hakim, anggota Panja RUU Pelayaran dari Fraksi
PKS, mengatakan dalam RUU Pelayaran telah disepakati format pengelolaan
pelabuhan melalui dua badan pengelola.
Menurut dia, pelabuhan yang berstatus komersial akan
diatur oleh badan pengelola pelabuhan (BPP), sedangkan unit penyelenggaraan
pelabuhan (UPP) diberi kewenangan untuk mengelola pelabuhan nonkomersial.
"Pengelolaan pelabuhan
komersial nantinya akan menerapkan mekanisme regulator dan operator. Untuk
regulator akan dipegang oleh BPP, sedangkan operatornya dipegang oleh
perusahaan BUMN, BUMD, dan swasta, seperti Pelindo [PT Pelabuhan Indonesia].
Adapun untuk pelabuhan kecil, nanti akan dikelola oleh UPP," katanya
kepada Bisnis,
JAKARTA: Usaha kepelabuhanan yang tidak
dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) tetap terbuka bagi pemerintah daerah dan perusahaan swasta, meski
berada di kawasan yang dikuasai oleh BUMN itu.
Perkembangan industri pelabuhan di Indonesia dinilai jauh berada di bawah negara Asia lainnya yang rata-rata tumbuh di atas 10% per tahun.
"Itu disebabkan oleh minimnya pesaing di sektor tersebut,
di samping adanya ego sektoral instansi terkait dalam pelayanan dokumen arus
barang di pelabuhan." Bisnis Indonesia.
Begitulah sekelumit prokontra mengenai RUU Pelayaran
yang sampai saat ini masih diperdepatkan oleh sebagian kalangan, yang menjadi
pertanyaan kita adalah apakah keberadaan UU Pelayaran khususnya dalam hal
pengelolaan pelabuhan bisa dibagi begitu saja seperti halnya membagi potongan
roti hanya karena dalil untuk menciptakan persaingan
sehat dan efisiensi dalam pelayanan kepelabuhanan ?, Bagaimana dampaknya
terhadap pekerja diseputar Pelabuhan? Dan mungkinkah ada agenda besar dibalik
prokontra UU pelayaran sebagaimana tersebut diatas?, untuk itulah perlu adanya
pendalaman analisa mengenai hal tersebut diatas.
Mencermati
Polemik Pengelolaan Pelabuhan
a. Tinjauan
Historis
Dampak negatif otonomi daerah yang
dahulu sempat diperdebatkan, akhirnya terjadi juga. Pemicunya tidak lain adalah
rebutan hak pengelolaan pelabuhan. 57 Kabupaten/kota sepakat untuk merebut
pengelolaan pelabuhan dari PT Pelindo, setelah gugatan uji materiil (judicial
review) terhadap PP No. 69/2001 tentang pelaksanaan tekhnis ke pelabuhan
dikabulkan oleh MA (Kompas, 11/08/2004)
Semenjak digulirkannya kebijakan
desentralisasi, memang telah nampak gejala-gejala ”Keserakahan” daerah yang
menjurus pada terbangunnya local kingdom atau bossism. Kasus sengketa pelabuhan
ini hanyalah salah satu cermin dari nafsu kekuasaan daerah yang semakin
menguat. Namun disisi lain, harus diakui pula bahwa UU No. 22/1999 terlalu
gegabah dalam mendesain format otonomi, sehingga memberi dasar yang sah bagi
daerah untuk melakukan pengambilalihan asset maupun kewenangan tertentu yang
selama ini dimiliki/dijalankan pemerintah pusat.
Oleh Karena UU No. 22/1999 sudah
terlanjur bersifat sangat ”federalis” sementara semangat mempertahankan NKRI
sebagai negara ”unitaris” masih sangat kuat, maka wajarlah ketika perbedaan
persepsi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi semakin meruncing. Salah
satu puncak konflik itu adalah keluarnya Kepmendagri No. 112/2003 tentang
pembatalan perda No. 1/2001 tentang kepelabuhan Kota Cilegon; dan Kepmendagri
No. 53/2003 tentang pembatalan Perda No. 1/2001 tentang Kepelabuhan Cilacap.
Disisi lain, oleh karena
desentralisasi sudah menjadi komitmen nasional, maka upaya revisi UU No.
22/1999 yang mengarah kepada re-sentralisasi, jelas tidak dapat dibenarkan.
Sepadan dengan ulasan diatas,
menurut Tri Widodo Utomo, Pengamat Politik dan hukum internasional dari
University Nagoya Jepang mengatakan Bahwa ”jika dicermati dengan lebih mendalam
anatomi permasalahannya, sesungguhnya mengenai kepelabuhan maka daerah tidak
memiliki alasan kuat untuk mengambilalih pelabuhan. Artinya argumen yang
mendukung pengelolaan pelabuhan oleh Pemda, sangatlah lemah karena hanya
mengandalkan pada basis yuridis berupa putusan MA yang mengabulkan uji materiil
terhadap PP No. 69/2001, namun kurang meyakinkan dari segi urgensi, efektifitas
dan manfaat pengambilalihan pengelolaan tersebut bagi masyarakat daerah.
Sebaliknya, pemerintah pusat memiliki alasan pembenar untuk mengelola
pelabuhan, namun terbentur oleh dasar hukum yang lemah.
Mengenai Klasifikasi atau hierarki
pelabuhan, sebenarnya PP No. 69/2001 telah membuat pengaturan yang jelas.
Disini, pelabuhan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pelabuhan nasional
dan internasional yang dikelola PT. Pelindo; pelabuhan regional yang
dikelola pemerintah propinsi; dan pelabuhan lokal yang pengelolaannya
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Jika klasifikasi semacam ini dapat
dilaksanakan secara konsisten, akan memperjelas pembangian kewenangan dan
mekanisme hubungan kerja antara Pusat-Propinsi-Kabupaten/kota. Namun dalam
prakteknya tidak ada kriteria yang jelas untuk memasukkan suatu pelabuhan
kedalam kategori nasional/internasional, regional, atau lokal. Sebagai contoh,
pelabuhan brebes yang semestinya merupakan pelabuhan lokal pada kenyataannya
dikategorikan sebagai pelabuhan regional yang berarti masih dalam kewenangan
Kanwil Dephub Jawa Tengah. Kenyataan tersebut mengakibatkan daerah tidak bisa
mendapatkan pemasukan dari sektor kelautan yang secara nyata dijamin UU No.
22/1999 (Pikiran Rakyat, 8/10/2002).
b. Negeri Maritim yang Merana
Beberapa waktu lalu Kongres Amerika
Serikat menolak pengambilalihan pelabuhan-pelabuhan di negerinya oleh investor
Timur Tengah. Dalam waktu yang berdekatan, perusahaan minyak China juga batal
mengakuisisi salah satu perusahaan minyak besar AS. Akhirnya yang mengambil
alih perusahaan minyak tersebut adalah sesama perusahaan AS, Chevron.
Di Indonesia sudah ada dua
pelabuhan yang dioperasikan oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di
Tanjung Priok oleh perusahaan Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung
Perak, Surabaya, oleh perusahaan Australia. Ada juga beberapa terminal yang
dioperasikan oleh swasta nasional.
Proses privatisasi PT Pelindo II sudah terjadi pada akhir pemerintahan Soeharto. Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang kepemilikan asing sudah mayoritas. Selain itu, salah satu pasal dari perjanjian antara PT Jakarta International Container Terminal (JICT)—yang mewadahi investor asing—dan PT Pelindo II dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap setelah terbit putusan Mahkamah Agung yang membenarkan putusan KPPU. Pasal yang dibatalkan itu menjadi biang keladi yang membuat investor asing sangat leluasa mengeruk keuntungan melimpah tanpa menyuntikkan dana yang berarti.
Proses privatisasi PT Pelindo II sudah terjadi pada akhir pemerintahan Soeharto. Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang kepemilikan asing sudah mayoritas. Selain itu, salah satu pasal dari perjanjian antara PT Jakarta International Container Terminal (JICT)—yang mewadahi investor asing—dan PT Pelindo II dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap setelah terbit putusan Mahkamah Agung yang membenarkan putusan KPPU. Pasal yang dibatalkan itu menjadi biang keladi yang membuat investor asing sangat leluasa mengeruk keuntungan melimpah tanpa menyuntikkan dana yang berarti.
Bagaimana menyikapi hal ini ?
Ada beberapa hal yang perlu ditarik
benang merahnya dalam hal mencermati prokontra seputar UU Pelayaran ini
terlebih pada pembahasan Kepelabuhan, sebagai berikut :
a.
Rapuhnya
yang menjadi dasar/standar dalam pembuatan UU Pelayaran.
Keberadaan
UU No. 22/1999 yang mengatur bahwa Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama”.
Secara lebih detil, pasal 11 mengatur adanya 11 kewenangan wajib bagi Kabupaten
Kota. Dan akhirnya, pasal 119 juga menegaskan bahwa “ kewenangan Daerah
Kabupaten dan daerah kota, berlaku juga dikawasan otorita yang terletak didalam
daerah Otonom, yang meliputi badan otoria, kawasan pelabuhan, kawasan Bandar
udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan jalan
bebas hambatan dan lain yang sejenis. Dalam pasal 10 UU pembatasan “wilayah
kerja” inipun tidak identik dengan batas administrative wilayah. Artinya, kewengan
kabupaten/kota diwilayah laut hanya mencakup area 0-4 mil laut, kewenangan
propinsi mencakup area 0-12 mil laut, kewenangan pemerintah pusat meliputi
wilayah pesisir (0 mil laut) hingga batas luar territorial negara indonesia
(zona ekonomi eksklusif). Dengan kata lain kewenangan daerah diwilayah laut ini
lebih dimaknakan sebagai “manajemen pelabuhan”, dan bukan “Penguasaan
pelabuhan”.
Rapuhnya pondasi yang dipakai dalam
penentuan kebijakan seputar UU Pelayaran dengan penentuan kewenangan siapa yang
layak dalam mengelola pelabuhan tidak lain adalah suatu peraturan yang
premature dan tidak populis. Seputar penjelasan mengenai UU No. 22/1999 bahwa sebenarnya
mirip dengan federasi, hanya ‘merek’nya yang lain, yakni memberikan wewenang
kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya. Paham pelimpahan wewenang
yang luas kepada daerah memang merupakan politik belah bamboo yang telah
dipupuk sejak masa penjajahan. Westerling, antek penjajah belanda, menyatakan
bahwa ia menentang usaha-usaha untuk menyatukan Negara-negara bagian kedalam
RIS dan ingin tetap mempertahankan faham federalisme, sehingga daerah dapat
membentuk tentaranya sendiri. Sistem Pelimpahan wewenang yang layaknya seperti
system federasi adalah system yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonomi
sendiri-sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum, sebaliknya system
pemerintahan islam adalah system Negara kesatuan. Wilayah kekuasaan Negara
Islam (dawlah Islam) adalah wilayah yang satu. Potensi kekayaan seluruh wilayah
negeri Islam dianggap satu. Begitu pula pemenuhan kebutuhan rakyat akan
diberikan secara merata untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat
daerahnya. Dengan demikian system pemerintahan islam adalah system pemerintahan
yang sentralistik (terpusat). Pemerintah pusat mempunyai otoritas yang penuh
atas seluruh wilayah Negara, baik dalam masalah-masalah kecil maupun yang
besar.
Ideologi (Mabda’) Islam telah
mengatur bagaimana Negara menjalankan pemerintahan, mengatasi kesenjangan
ekonomi, menyejahterakan kehidupan social masyarakat, dan mengatasi masalah
keamanan masyarakat. Oleh karena itulah jika melihat kondisi diatas, pada
akhirnya siapa yang layak untuk mengelolaa pelabuhan tidak lain adalah
pemerintah pusat (sentralistik), adanya pelimpahan kewenangan dalam hal
pengelolaan yang diberikan kepada pihak asing tidak lain adalah sebagai upaya
mandul pemerintah yang ingin menutupi keborokannya yang selama ini terjadi
takkala pengelolaan pelabuhan itu dilakukan secara monopoli atau hanya
segelintir orang yang memanfaatkannya sehingga tidak dirasakan oleh masyarakat
output yang dihasilkannya. Dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah
memberikan solusi dengan merevisi UU No. 21/1992 mengenai Pelayaran dan tata
pengelolaannya dimana pada UU tersebut juga tercantum didalamnya penambahan
pasal yang menjelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pelabuhan umum maupun
khusus dapat dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan Swasta. Atas dasar
inilah Sepak terjang privatisasi di Indonesia dimulai, selang beberapa waktu
setelah pembahasan UU Pelayaran tersebut sudah ada dua pelabuhan yang
dioperasikan oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di Tanjung Priok oleh
perusahaan Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya, oleh
perusahaan Australia.
Siapa yang diuntungkan?
Setelah lebih dari satu dasawarsa,
ternyata privatisasi dan kehadiran asing tak memberikan banyak maslahat. Juga
tak banyak mengubah peta dunia pelayaran nasional. Arus keluar-masuk peti kemas
masih saja lewat Singapura dan lebih dari 90 persen diangkut oleh kapal-kapal
asing. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia
tetap saja tidak efisien dengan tarif efektif jasa pelabuhan yang relatif
sangat mahal.
Sementara itu, PT Pelindo praktis
jalan di tempat sehingga kinerja pelabuhan-pelabuhan kita kian tertinggal dari
pelabuhan-pelabuhan negara tetangga. Tanpa pembenahan mendasar, pelayanan
pelabuhan di Tanah Air akan semakin kedodoran melayani arus ekspor dan impor
yang terus naik.
Dengan pelayanan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya yang bertambah buruk, sektor industri manufaktur dan sektor pertanian sulit berkembang secara optimal dalam bertarung di kancah pasar global. Industri manufaktur akan tersingkir dari pola jaringan produksi global yang mensyaratkan keandalan sistem logistik dan supply chain.
Dengan pelayanan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya yang bertambah buruk, sektor industri manufaktur dan sektor pertanian sulit berkembang secara optimal dalam bertarung di kancah pasar global. Industri manufaktur akan tersingkir dari pola jaringan produksi global yang mensyaratkan keandalan sistem logistik dan supply chain.
Pembenahan kepelabuhanan dan
pelayaran tak bisa lagi dilakukan sekeping-sekeping. “Titik pijak dalam
melakukan pembenahan ialah mewujudkan visi negara maritim yang tangguh dan
mengokohkan Indonesia
sebagai negara kesatuan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Menurut Faisal
Basri
Kemudian lanjutnya, “Semua kelompok
kepentingan yang bercokol di seputar usaha kepelabuhanan dan pelayaran harus
tunduk pada visi tersebut. Sah-sah saja mengedepankan dimensi bisnis, tetapi
jangan sampai merapuhkan kedaulatan negara. Kemampuan armada pelayaran nasional
harus terus dikedepankan dan menikmati porsi yang kian besar dalam lalu lintas
barang, terutama dalam pelayaran nusantara/nasional.
Proses pembahasan rancangan
undang-undang (RUU) pelayaran yang melahirkan prokontra menunjukkan bahwa
kalangan pemerintah sendiri belum memiliki kesatuan pandangan dan sikap. Setiap
instansi yang memiliki kepentingan berbeda melakukan manuver sendiri-sendiri ke
Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang menggodok RUU ini.
Publik tak tahu apakah penyusunan
RUU didahului oleh kajian akademik yang solid. Lebih parah lagi kalau kajian
akademik tak pernah dilakukan sebagaimana ditengarai oleh salah seorang anggota
DPR yang turut berkecimpung langsung dalam pembahasan RUU pelayaran ini.
Dihadapkan pada kenyataan yang
memilukan tersebut, agaknya wajar saja kalau salah satu pemangku kepentingan, yakni
kalangan pekerja pelabuhan, memercikkan kegundahan mereka dengan ancaman
melakukan mogok kerja.
Akibat Privatisasi disegala Bidang
Selain
itu, privatisasi disegala bidang menyebabkan: Pertama, tersentralisasinya aset yang dimiliki baik sebagai
kepemilikan umum/maupun pengelolaan untuk kepentingan banyak orang pada
segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar serta kecanggihan
manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk
mendapatkan pelayanan secara lebih baik. Aset tersebut akhirnya hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja.
Kedua, privatisasi di negeri-negeri Islam yang dibarengi
dengan dibukanya pintu untuk para investor asing—baik perorangan maupun
perusahaan—akan menjerumuskan negeri-negeri Islam ke dalam cengkeraman
imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang
nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam.
Ketiga, menghapuskan kepemilikan umum, karena
negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat.
Padahal, negaralah yang wajib membangun infrastruktur untuk meningkatkan jalur
pengelolaan pelabuhan untuk kepentingan umum. Dengan privatisasi, berarti
kewajiban penguasa ini dilepaskan, lalu diserahkan kepada swasta, yang tentu
saja memandang masyarakat sebagai komoditi yang harus membayar, bukan
pemiliknya.
Kekisruhan privatisasi di Pelabuhan
Tanjung Priok lebih disebabkan kelalaian pemerintah dan ”mandul gereget” PT
Pelindo II sebagai badan usaha milik negara—bersama-sama dengan BUMN
kepelabuhanan lainnya—yang diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai
penyelenggara satu-satunya usaha kepelabuhanan di seluruh Indonesia.
b.
Pertarungan
dua konsep kapitalis antara Monopoli dan Liberalisasi membuahkan kesengsaraan
terhadap Pekarja-pekerja di Pelabuhan?
JAKARTA: Pro dan kontra terhadap Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pelayaran berlanjut. Pekerja bongkar muat Pelabuhan Tanjung
Priok kemarin menyatakan dukungannya terhadap RUU tersebut, sementara ribuan
pekerja PT Pelabuhan Indonesia
akan menggelar demonstrasi di DPR untuk menolak pengesahan RUU itu.
Tb. Romli, Ketua Serikat Pekerja
Maritim (SPMI) Tanjung Priok, mengatakan selama ini tidak ada satu pihak
pun yang memedulikan nasib TKBM di pelabuhan, termasuk Pelindo.
Bahkan, ujarnya, status TKBM hingga
saat ini tidak ada kejelasan karena mereka hanya mendapatkan pekerjaan satu
hingga dua minggu dalam sebulan. "Penghasilan yang diperoleh TKBM saat ini
masih di bawah standar upah minimum provinsi, bahkan sebagian di antara mereka
sudah berusia lanjut," ujarnya.
Karena itu, TKBM berharap UU
Pelayaran dapat membawa perubahan untuk mengangkat taraf hidup mereka yang
selama ini tidak pernah memperoleh fasilitas atau sarana kerja apa pun dari
pelayanan bongkar muat di pelabuhan.
indosiar.com, Jakarta
- Ribuan karyawan PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) menggelar
aksi unjuk rasa serentak menolak Rancangan Undang Undang RUU Pelayaran yang
tengah dibahas di DPR. Di Jakarta ratusan karyawan Pelindo berunjuk rasa dengan
mendatangi gedung DPR RI di Senayan Jakarta
Para demonstran melihat adanya upaya-upaya
pengurangan wewenang Pelindo sebagai regulator dan operator pelabuhan yang
nantinya disinyalir mengarah pada penjualan aset dan rasionalisasi karyawan.
Hambar Wiyadi, Sekretaris Serikat
Pekerja Pelabuhan Tanjung Priok yang juga Juru Bicara Pelindo II Cabang Tanjung
Priok, mengatakan aksi itu merupakan respons pekerja pelabuhan terhadap
kemungkinan PHK setelah pengesahan RUU Pelayaran.
"Kami tak alergi dengan
perubahan di pelabuhan, tapi kami menolak liberalisasi pelabuhan dalam RUU
Pelayaran," katanya.
UU Pelayaran yang baru disahkan itu
merupakan penyempurnaan atas UU Nomor 21 Tahun 1992. UU baru terdiri atas 22
bab dan 355 pasal atau lebih banyak dari usulan pemerintah yang mengajukan 17
bab dan 164 pasal. sejumlah karyawan Pelindo yang berdemonstrasi, Hasto
mengatakan, Kongres AS saja menentang keras pengambilalihan
pengelolaan pelabuhan oleh swasta. Dia berpendapat, liberalisasi pelabuhan di Indonesia
bisa berdampak menghancurkan Pelindo. Karyawan Pelindo juga terpaksa
dirasionalisasi demi efisiensi dan persaingan usaha. "Ada upaya sistematis
untuk meliuidasi Pelindo," ujar Hasto menyimpulkan.
Hampir di semua
negara saat ini, problema ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan
berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan
ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari selalu adanya
departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk.
Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga
terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat
pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan 'mahalnya' gaji tenaga kerja,
bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal,
serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, sosial bahkan politis. Sementara
di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya
peluang kerja, tingginya angka penganguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga
kerja, tingkat gaji yang rendah, jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi
perlakuan penguasa yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan,
pelecehan seksual, larangan berjilbab
dan beribadah dll.
Di Indonesia , selama masa Orde Baru hingga saat
ini, kondisi buruh sangat memprihatinkan. Dengan alasan mengejar angka
pertumbuhan pembangunan, buruh mengalami
dehumanisasi secara sistematis.
Bagi buruh sendiri, melakukan unjuk rasa atau pemogokan massal menjadi pilihan yang
sering dilakukan untuk menarik perhatian terhadap realitas kehidupan kaum
buruh yang sarat kesulitan. Dari tahun 2002 hingga tahun 2007 ini Ditjen
Binawas Depnaker mencatat sekitar 2600 kali pemogokan buruh dan ribuan kali
demontrasi buruh. Kondisi seperti ini tentunya, bukanlah kondisi yang kondusif
untuk bekerja dan berusaha.
Bila pola hubungan buruh dan pemilik usaha yang
seharusnya setara dalam format simbiosis mutualisma (saling menguntungkan)
terus berubah menjadi hubungan budak-majikan. Tampak dari tindakan penguasa
yang semena-mena terhadap buruh. Bila hal ini terus terjadi, tidak
tertutup kemungkinan muncul kondisi
seperti perburuhan di Eropa dan Amerika
abad ke-18 yang kemudian melahirkan demontrasi berbuntut kerusuhan besar tahun
1886 (peristiwa ini kemudian mengilhami lahirnya Hari Buruh Internasional
tanggal 1 Mei)
Memang persoalan
buruh merupakan problem multidimensional. Banyak faktor yang mempengaruhi
munculnya problem ini, seperti ekonomi,
politik, keamanan nasional bahkan intervensi negara-negara besar. Karena itu
penyelesaiannya membutuhkan kebijakan komprehensif dan mendasar. Karena
persoalannya, merupakan persoalan yang sistemik, maka penyelesainnya juga
haruslah lewat perubahan sistem kehidupan. Secara garis besar persoalan
buruh/pekerja meliputi:
Problem Kesejahteraan Hidup
Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan
berupa gaji (upah) maka pencapaian kesejahteraan tergantung kepada kemampuan
gaji memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya jumlah gaji
relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup yang selalu bertambah (adanya
bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon,
biaya transportasi dll.) Hal ini
menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah.
Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP
(United Nations Development Progamme),
Rabu (24/7/2002), Indonesia
menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia , bertengger negara Myanmar, Kamboja , dan Laos. Tak pelak, Kesejahteraan
Indonesia di tingkat internasional juga buruk Masih menurut UNDP, Indonesia
menempati posisi 110 dari 173 negara, berada ‘kalah’ dari Vietnam (Republika,
25/7/2002). Padahal bukankah Indonesia
negeri yang alamnya sangat kaya ?
Sementara itu, dalam sistem Kapitalis (yang juga
dianut oleh Indonesia)
peran negara diminimkan, sebatas pengatur. Kenyataan yang terjadi adalah ,
negara mengabaikan kesejahteraan rakyat.. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus
bekerja dan mencari pendapatan sesuai kemauannya. Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil sementara kebutuhan cukup
besar, menjadi resiko hidup yang harus ditanggung setiap warganegara. Negara
berlepas diri dari 'pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara' apalagi
kebutuhan sekunder dan tersier.
Negara biasanya
baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis
kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaringan Pengaman
Sosial), pengobatan gratis, dsb. Itupun dalam jumlah terbatas, dengan syarat
yang sering memberatkan, dan yang jelas
sifatnya hanya sementara (sesaat).Belum lagi , besarnya kebocoran dari
dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah
minim. Pada sisi yang lain, kekayaan
alam yang melimpah ruah sangat banyak pada hampir seluruh pelosok negeri,
ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusahadan penguasa) untuk
memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata. Kolusi intra dan antar pengusaha danpenguasa melalui
praktek KKN, kontrak karya, hak eksploitasi dsb. terjadi setiap hari tanpa
memperhatikan kesengsaraan hidup kaum buruh. Bagi buruh ( dan komponen rakyat
lainnya) jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder untuk hidup lebih nyaman ,
kebutuhan primer untuk makan saja sangatlah sulit.
Problem Pemutusan Hubungan Kerja
Salah
satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK ini menjadi salah satu sumber
pengangguran di Indonesia.
Jumlah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center
for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2007, jumlah penganggur
diperkirakan sebesar 68 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya
pengangguran ini akan berakibat banyak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya,
PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentunya asalkan sesuai
dengan kesepakatan kerja bersama (KKB) dan pihak pekerja maupun pengusaha harus
ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Hanya saja, dalam kondisi dimana
tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar maka PHK, dan pekerjaan
merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi 'bencana
besar' yang sangat menakutkan para buruh.
Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan
Dalam masyarakat kapitalistik seperti saat ini,
tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga
negaranya. Karenanya sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai
'pengurus dan penanggungjawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya'. Rakyat yang
ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Sehingga prinsip struggle
for life , benar-benar terjadi. Jika ia terkena bencana atau kebutuhan
hidupnya meningkat ia harus bekerja lebih keras secara mutlak, begitu pula
ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab
lainnya maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan
kesulitan hidup luar biasa, terutama seorang
warga negara sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya .
c. Indonesia
masuk kedalam perangkap politik internasional
Ungkapan Menhub
Jusman Syafii Djamal tidak lain untuk menanggapi kekecewaan Indonesia Maritime
& Ocean (IMO) Watch karena menganggap RUU Pelayaran tidak mengakomodasi
kepentingan daerah dan swasta dalam pengelolaan pelabuhan umum, sesuai dengan
semangat otonomi daerah.
Ketua IMO
Watch Anthon Sihombing mengungkapkan kekecewaan itu karena dalam RUU Pelayaran pemerintah
dan DPR tetap memberikan hak eksklusif kepada Pelindo untuk mengelola pelabuhan.
Menurut
Anthon, penataan ulang sistem pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia
dengan menyertakan pemerintah daerah dan swasta nasional merupakan
keharusan dalam rangka menciptakan persaingan sehat dan efisiensi dalam
pelayanan kepelabuhanan.
Penataan
pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia, lanjutnya, sudah mendesak karena
perkembangan infrastruktur dan kualitas pelayanan pelabuhan di Tanah Air saat
ini cenderung stagnan.
Berbicara
mengenai Pelayaran tentu tidak akan lepas dari pengaruh hukum internasional
yang bersumber pula pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh badan-badan
dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun perjanjian yang disepakati
bersama (treaty, dll). Untuk itu Rancangan Undang-Undang Pelayaran yang
merupakan revisi dari dari UU No. 21/1992 tidak lain terkait dengan pengawasan
yang didasarkan pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh International
Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO). Dalam
Filosofi Marcopholo, mengatakan bahwa “ Siapa yang menguasai Pelabuhan suatu
daerah tentu akan mudah mendapatkan otorisasi daerah tersebut”.
Untuk
itulah dalam rangka kepentingan pihak asing dalam menghunjamkan cengkeraman
hegemoni Imperialismenya, maka penguasaan terhadap pengelolaan Pelabuhan di
wilayah-wilayah kaum muslimin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
agenda besarnya itu.
Dalam literatur Hubungan Internasional persfektif Barat,
dikatakan politik luar negeri pastilah ditujukan untuk mencapai kepentingan
suatu negara. Karena itu tujuan nasional sebuah negara adalah
perkara yang sangat penting. Politik luar negeri pada dasarnya merupakan semua
sikap dan aktivitas dimana sebuah negara mencoba untuk menanggulangi masalah
serta memetik keuntungan dari lingkungan
internasionalnya. Dengan demikian politik luar negeri sesungguhnya merupakan hasil dari interaksi lingkungan domestik dan lingkungan
ekternalnya. Menurut Hosti salah satu
bentuk tujuan negara itu adalah nilai
dari kepentingan inti yang melibatkan
setiap eksistensi (keberadaan ) pemerintah dan bangsa yang harus dilindungi dan
diperluas ( Holsti ; :Politik Internasional Kerangka untuk Analisis halaman
137). Lebih jauh Hosti menjelaskan, tujuan untuk kepentingan dan nilai inti ini
dapat digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan orang bersedia melakukan
pengorbanan yang sebesar-besarnya. Nilai dan kepentingan inti ini biasanya dikemukan
dalam bentuk asas-asas pokok kebijakan
luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat.
Oleh karena itu
ideologi sangatlah penting sebagai dasar interaksi sebuah negara dengan negara
lain. Berdasarkan peta ideologi ini, di dunia ada tiga ideologi besar yang
melakukan pertarungan: yakni Kapitalis, Sosialisme-Komunis, dan Islam.
Negara-negara berbasis ideologis komunis-sosialis pernah berpengaruh dalam era perang dingin (cold war). Namun
setelah Rusia runtuh dan mengganti ideologinya menjadi Kapitalis, perannya
semakin menyusut. Tinggallah saat ini dunia didominasi oleh ideologi
Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti
Inggris dan Perancis. Adapun Islam
sejak dibubarkannya Khilafah Islam,
peran polugrinya tidak ada sama sekali. Negeri-negeri Islam selama ini
didominiasi oleh negara-negara dengan basis ideologi Kapitalis atau Sosialis.
Pasca perang dingin, total negeri-negeri Islam menginduk kepada Amerika Serikat
atau negara-negara Eropa.
Untuk itu bagi ummat Islam
sendiri, Pemahaman terhadap politik luar negeri merupakan suatu kebutuhan
penting untuk melindungi eksistensi negara dan umat. Pemahaman ini juga
merupakan prasyarat utama untuk dapat menyampaikan dakwah ke seluruh dunia, dan
suatu langkah yang penting dalam menjalin hubungan yang baik antar umat dan
bangsa lain.
Umat Islam berkewajiban
menyampaikan dakwah ke seluruh umat manusia, harus berinteraksi dengan mereka,
memahami permasalahannya, mengetahui motivasi setiap negara dan bangsa,
mengikuti setiap peristiwa politik di dunia, mengamati gaya berpolitik setiap
negara, mengamati perilaku hubungan dengan negara lain, dan memahami
manuver-manuver politik yang mereka lakukan.
Oleh karena itu kaum
muslimin harus menyadari realitas dunia Islam dalam memahami situasi politik
internasional, dengan maksud untuk mengetahui aktivitas dan gaya politik yang
dibutuhkan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah.
Dengan demikian, sangat
penting memahami dengan sebaik-baiknya situasi internasional dan seluk
beluknya. Wajib pula memahami kedudukan negara-negara di dunia yang memberikan
pengaruh pada situasi politik internasional.
Pada saat ini, semua
negara di dunia merupakan musuh Islam, karena mereka memeluk ideologi yang bertentangan dengan Islam, dan
menggunakan sudut pandang yang bertentangan secara diametral dengan sudut
pandang Islam. Negara-negara adidaya, statusnya lebih dari sekedar musuh Islam,
karena mereka mempunyai kepentingan (interest) dengan wilayah negeri-negeri
Islam. Oleh karena itu mereka senantiasa menghancurkan Negara Islam, atau potensi
apapun yang memungkinkan berdirinya kembali Khilafah untuk menghancurkan umat
Islam.
Mereka menyiapkan rencana
jangka panjang untuk mencegah kembalinya Khilafah, agar umat Islam tidak dapat
kembali menjadi umat yang agung di antara umat lainnya. Mereka sibuk
merancangrencana dan berusaha membuai umat Islam sebelum umat berjuang untuk
kebangkitannya. Mereka akan melanjutkan usahanya menentang umat Islam,
eksistensi dan kekuatannya, selama Negara Islam masih tegak atau atau selama
mereka mempunyai kekuatan baik sebagai negara, bangs bahkan sebagai individu.
Kebijakan Politik tiap
negara merupakan suatu pokok yang harus dipahami oleh setiap politisi muslim.
Pengetahuan tentang sifat, rahasia, rencana, gaya, dan kemampuan negara-negara
adidaya merupakan hal yang sangat penting bagi setiap muslim. Rincian dan
pengetahuan praktis mengenai hal ini, perubahan yang terjadi setiap hari,
alasan yang melandasi, serta pondasi kebijakan negara-negara adidaya merupakan
pengetahuan pokok bagi politisi dan pemikir muslim. Pemahaman dan pengetahuan
tersebut berguna untuk melindungi umat, mengamankan negara dan umat Islam, dan
menyampaikan dakwah Islam ke seluruh dunia.
Dalam kondisi
seperti ini cara satu-satunya bagi umat Islam untuk kembali memainkan perannya
secara ideoligis sekarang ini adalah kembali menegakkan Khilafah Islam. Negara
Khilafah Islam ini adalah negara yang didasarkan kepada Islam, menerapkan
hukum-hukum Islam dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia. Negara Khilafah
Islam akan menjalankan politik luar negerinya berdasarkan Islam. Karena itu
mengkaji kembali bagaimana politik luar negeri Islam dibawah Negara Khilafah
Islam adalah sangat penting, untuk memberikan gambaran kepada siapa saja
tentang ketinggian Islam. Dan ini juga penting untuk memberikan solusi kongkrit
bagi berbagai krisis di dunia Islam saat ini seperti krisis Palestina,
Afghanistan, Khasmir, tuduhan terorisme dan imperialisme AS.
Wahai kaum Muslim,
Ketika
Islam tidak diterapkan dan urusan kita tidak lagi berada di tangan orang-orang
yang amanah lagi takut kepada Allah SWT, banyak kepentingan vital kita
diabaikan. Pengelolaan Pelabuhan yang seyogyanya menjadi urusan Negara hendak
dirampas dan diserahkan kepada segelintir orang kaya, bahkan orang asing yang
nota bene orang kafir yang hendak mengeksploitasi kita dengan RUU Pelayaran
itu. Sungguh Allah swt. melarang kita untuk membiarkan kezaliman ini dan
melarang kita menyutujui serta mendukung tindakan orang-orang zalim itu. Allah
swt. berfirman:
]وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ
تُنْصَرُونَ[
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim
yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai
seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan." (QS. Hûd [11]: 113)
Wahai kaum Muslim,
Kita
adalah umat terbaik yang diturunkan Allah SWT bagi manusia. Belum cukupkah
fakta-fakta yang kita lihat—RUU SDA, RUU Migas, RUU Pertanahan/lahan termasuk
RUU Pelayaran ini—menyadarkan kita bahwa hanya dengan syariat Islamlah kita
akan mendapatkan keadilan dan hak-haknya? Benar, sudah saatnya kita menyatakan
dengan terang “Kita butuh tegaknya syariat Islam.” Allah SWT berfirman:
]يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا
يُحْيِيكُمْ[
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kalian kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24). []
Jazakumullahu Khairon Katsiro
Penulis adalah Pemerhati Politik Dari Hizbut Tahrir Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar