Selasa, 12 Februari 2013

Badai Masalah RUU Pelayaran



بسم الله الرحمن الرحيم

BADAI MASALAH SEPUTAR RUU PELAYARAN

SIAPA YANG DIUNTUNGKAN ?

Oleh : Asdianto (Moh. Harist Al Muhashiby)



Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengatakan keterlibatan pemda dan swasta dalam pengelolaan pelabuhan itu diatur dalam rancangan undang-undang (RUU) Pelayaran.

Dengan adanya aturan itu, paparnya, Menhub menepis anggapan bahwa pemerintah tidak akomodatif terhadap kepentingan pelaku usaha yang ingin menjalankan bisnis kepelabuhanan.

"Di pelabuhan ada yang disebut DLKP [daerah lingkungan kepentingan pelabuhan] dan DLKR [daerah lingkungan kerja pelabuhan] dan nantinya yang memetakan adalah pemegang otoritas pelabuhan. Dengan cara itu, akan diketahui mana wilayah yang bisa dikuasai oleh Pelindo dan mana yang tidak," katanya,

Dari pemetaan itu, paparnya, juga akan diketahui wilayah pelabuhan yang bisa dikelola oleh pemda dan swasta. Rencananya, aturan itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.

"Dalam menanamkan modalnya, pemda pun nanti bisa menggandeng pihak swasta ataupun BUMN dalam pengelolaan usaha kepelabuhanan. Ini adalah mekanisme baru yang ada dalam RUU Pelayaran, yang sedang dibahas di DPR," ujarnya.

JAKARTA (Bisnis): Pendapatan usaha Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV diperkirakan menyusut hingga 50% akibat berkurangnya lahan usaha yang akan digarap setelah pemberlakuan UU Pelayaran.

Hendra Budhi, juru bicara Pelindo II, mengatakan pada 2007 laba Pelindo I, II, III, dan IV yang tercatat mencapai Rp 2,254 triliun, sedangkan aset yang dimiliki BUMN pelabuhan itu mencapai Rp 8 triliun.

........ Dia mengatakan Pelindo hanya akan berperan sebagai operator terminal, sementara kegiatan pelabuhan dikelola oleh pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan. Sebelum revisi UU Pelayaran, kata Hendra, BUMN ini juga menjalankan fungsi selain sebagai operator terminal, juga mengusahakan perawatan infrastrutur, pengembangan pelabuhan, dan kerja sama penyewaan lahan di areal pelabuhan.

“Kondisi ini, otomatis memangkas pendapatan Pelindo sekitar 50%-60% karena pekerjaan Pelindo juga akan berkurang,” ujarnya. (Bisnis/k1).

Fraksi-PKS Online: Pemerintah dan DPR menyepakati pengelolaan pelabuhan komersial dan nonkomersial dilakukan secara terpisah oleh dua badan khusus. Dalam pembahasan RUU Pelayaran itu, DPR diwakili oleh sejumlah anggota Komisi V yang tergabung dalam panitia kerja (Panja).

Abdul Hakim, anggota Panja RUU Pelayaran dari Fraksi PKS, mengatakan dalam RUU Pelayaran telah disepakati format pengelolaan pelabuhan melalui dua badan pengelola.

Menurut dia, pelabuhan yang berstatus komersial akan diatur oleh badan pengelola pelabuhan (BPP), sedangkan unit penyelenggaraan pelabuhan (UPP) diberi kewenangan untuk mengelola pelabuhan nonkomersial.

"Pengelolaan pelabuhan komersial nantinya akan menerapkan mekanisme regulator dan operator. Untuk regulator akan dipegang oleh BPP, sedangkan operatornya dipegang oleh perusahaan BUMN, BUMD, dan swasta, seperti Pelindo [PT Pelabuhan Indonesia]. Adapun untuk pelabuhan kecil, nanti akan dikelola oleh UPP," katanya kepada Bisnis,

JAKARTA: Usaha kepelabuhanan yang tidak dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) tetap terbuka bagi pemerintah daerah dan perusahaan swasta, meski berada di kawasan yang dikuasai oleh BUMN itu.

Perkembangan industri pelabuhan di Indonesia dinilai jauh berada di bawah negara Asia lainnya yang rata-rata tumbuh di atas 10% per tahun.

"Itu disebabkan oleh minimnya pesaing di sektor tersebut, di samping adanya ego sektoral instansi terkait dalam pelayanan dokumen arus barang di pelabuhan." Bisnis Indonesia.

Begitulah sekelumit prokontra mengenai RUU Pelayaran yang sampai saat ini masih diperdepatkan oleh sebagian kalangan, yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah keberadaan UU Pelayaran khususnya dalam hal pengelolaan pelabuhan bisa dibagi begitu saja seperti halnya membagi potongan roti hanya karena dalil untuk menciptakan persaingan sehat dan efisiensi dalam pelayanan kepelabuhanan ?, Bagaimana dampaknya terhadap pekerja diseputar Pelabuhan? Dan mungkinkah ada agenda besar dibalik prokontra UU pelayaran sebagaimana tersebut diatas?, untuk itulah perlu adanya pendalaman analisa mengenai hal tersebut diatas.



Mencermati Polemik Pengelolaan Pelabuhan

a. Tinjauan Historis

Dampak negatif otonomi daerah yang dahulu sempat diperdebatkan, akhirnya terjadi juga. Pemicunya tidak lain adalah rebutan hak pengelolaan pelabuhan. 57 Kabupaten/kota sepakat untuk merebut pengelolaan pelabuhan dari PT Pelindo, setelah gugatan uji materiil (judicial review) terhadap PP No. 69/2001 tentang pelaksanaan tekhnis ke pelabuhan dikabulkan oleh MA (Kompas, 11/08/2004)

Semenjak digulirkannya kebijakan desentralisasi, memang telah nampak gejala-gejala ”Keserakahan” daerah yang menjurus pada terbangunnya local kingdom atau bossism. Kasus sengketa pelabuhan ini hanyalah salah satu cermin dari nafsu kekuasaan daerah yang semakin menguat. Namun disisi lain, harus diakui pula bahwa UU No. 22/1999 terlalu gegabah dalam mendesain format otonomi, sehingga memberi dasar yang sah bagi daerah untuk melakukan pengambilalihan asset maupun kewenangan tertentu yang selama ini dimiliki/dijalankan pemerintah pusat.

Oleh Karena UU No. 22/1999 sudah terlanjur bersifat sangat ”federalis” sementara semangat mempertahankan NKRI sebagai negara ”unitaris” masih sangat kuat, maka wajarlah ketika perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi semakin meruncing. Salah satu puncak konflik itu adalah keluarnya Kepmendagri No. 112/2003 tentang pembatalan perda No. 1/2001 tentang kepelabuhan Kota Cilegon; dan Kepmendagri No. 53/2003 tentang pembatalan Perda No. 1/2001 tentang Kepelabuhan Cilacap.

Disisi lain, oleh karena desentralisasi sudah menjadi komitmen nasional, maka upaya revisi UU No. 22/1999 yang mengarah kepada re-sentralisasi, jelas tidak dapat dibenarkan.

Sepadan dengan ulasan diatas, menurut Tri Widodo Utomo, Pengamat Politik dan hukum internasional dari University Nagoya Jepang mengatakan Bahwa ”jika dicermati dengan lebih mendalam anatomi permasalahannya, sesungguhnya mengenai kepelabuhan maka daerah tidak memiliki alasan kuat untuk mengambilalih pelabuhan. Artinya argumen yang mendukung pengelolaan pelabuhan oleh Pemda, sangatlah lemah karena hanya mengandalkan pada basis yuridis berupa putusan MA yang mengabulkan uji materiil terhadap PP No. 69/2001, namun kurang meyakinkan dari segi urgensi, efektifitas dan manfaat pengambilalihan pengelolaan tersebut bagi masyarakat daerah. Sebaliknya, pemerintah pusat memiliki alasan pembenar untuk mengelola pelabuhan, namun terbentur oleh dasar hukum yang lemah.

Mengenai Klasifikasi atau hierarki pelabuhan, sebenarnya PP No. 69/2001 telah membuat pengaturan yang jelas. Disini, pelabuhan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pelabuhan nasional dan internasional yang dikelola PT. Pelindo; pelabuhan regional yang dikelola pemerintah propinsi; dan pelabuhan lokal yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Jika klasifikasi semacam ini dapat dilaksanakan secara konsisten, akan memperjelas pembangian kewenangan dan mekanisme hubungan kerja antara Pusat-Propinsi-Kabupaten/kota. Namun dalam prakteknya tidak ada kriteria yang jelas untuk memasukkan suatu pelabuhan kedalam kategori nasional/internasional, regional, atau lokal. Sebagai contoh, pelabuhan brebes yang semestinya merupakan pelabuhan lokal pada kenyataannya dikategorikan sebagai pelabuhan regional yang berarti masih dalam kewenangan Kanwil Dephub Jawa Tengah. Kenyataan tersebut mengakibatkan daerah tidak bisa mendapatkan pemasukan dari sektor kelautan yang secara nyata dijamin UU No. 22/1999 (Pikiran Rakyat, 8/10/2002).



b.   Negeri Maritim yang Merana

Beberapa waktu lalu Kongres Amerika Serikat menolak pengambilalihan pelabuhan-pelabuhan di negerinya oleh investor Timur Tengah. Dalam waktu yang berdekatan, perusahaan minyak China juga batal mengakuisisi salah satu perusahaan minyak besar AS. Akhirnya yang mengambil alih perusahaan minyak tersebut adalah sesama perusahaan AS, Chevron.

Di Indonesia sudah ada dua pelabuhan yang dioperasikan oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di Tanjung Priok oleh perusahaan Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya, oleh perusahaan Australia. Ada juga beberapa terminal yang dioperasikan oleh swasta nasional.
Proses privatisasi PT Pelindo II sudah terjadi pada akhir pemerintahan Soeharto. Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang kepemilikan asing sudah mayoritas. Selain itu, salah satu pasal dari perjanjian antara PT Jakarta International Container Terminal (JICT)—yang mewadahi investor asing—dan PT Pelindo II dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap setelah terbit putusan Mahkamah Agung yang membenarkan putusan KPPU. Pasal yang dibatalkan itu menjadi biang keladi yang membuat investor asing sangat leluasa mengeruk keuntungan melimpah tanpa menyuntikkan dana yang berarti.





Bagaimana menyikapi hal ini ?

Ada beberapa hal yang perlu ditarik benang merahnya dalam hal mencermati prokontra seputar UU Pelayaran ini terlebih pada pembahasan Kepelabuhan, sebagai berikut :

a.     Rapuhnya yang menjadi dasar/standar dalam pembuatan UU Pelayaran.

Keberadaan UU No. 22/1999 yang mengatur bahwa Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama”. Secara lebih detil, pasal 11 mengatur adanya 11 kewenangan wajib bagi Kabupaten Kota. Dan akhirnya, pasal 119 juga menegaskan bahwa “ kewenangan Daerah Kabupaten dan daerah kota, berlaku juga dikawasan otorita yang terletak didalam daerah Otonom, yang meliputi badan otoria, kawasan pelabuhan, kawasan Bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan jalan bebas hambatan dan lain yang sejenis. Dalam pasal 10 UU pembatasan “wilayah kerja” inipun tidak identik dengan batas administrative wilayah. Artinya, kewengan kabupaten/kota diwilayah laut hanya mencakup area 0-4 mil laut, kewenangan propinsi mencakup area 0-12 mil laut, kewenangan pemerintah pusat meliputi wilayah pesisir (0 mil laut) hingga batas luar territorial negara indonesia (zona ekonomi eksklusif). Dengan kata lain kewenangan daerah diwilayah laut ini lebih dimaknakan sebagai “manajemen pelabuhan”, dan bukan “Penguasaan pelabuhan”.

Rapuhnya pondasi yang dipakai dalam penentuan kebijakan seputar UU Pelayaran dengan penentuan kewenangan siapa yang layak dalam mengelola pelabuhan tidak lain adalah suatu peraturan yang premature dan tidak populis. Seputar penjelasan mengenai UU No. 22/1999 bahwa sebenarnya mirip dengan federasi, hanya ‘merek’nya yang lain, yakni memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah memang merupakan politik belah bamboo yang telah dipupuk sejak masa penjajahan. Westerling, antek penjajah belanda, menyatakan bahwa ia menentang usaha-usaha untuk menyatukan Negara-negara bagian kedalam RIS dan ingin tetap mempertahankan faham federalisme, sehingga daerah dapat membentuk tentaranya sendiri. Sistem Pelimpahan wewenang yang layaknya seperti system federasi adalah system yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonomi sendiri-sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum, sebaliknya system pemerintahan islam adalah system Negara kesatuan. Wilayah kekuasaan Negara Islam (dawlah Islam) adalah wilayah yang satu. Potensi kekayaan seluruh wilayah negeri Islam dianggap satu. Begitu pula pemenuhan kebutuhan rakyat akan diberikan secara merata untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Dengan demikian system pemerintahan islam adalah system pemerintahan yang sentralistik (terpusat). Pemerintah pusat mempunyai otoritas yang penuh atas seluruh wilayah Negara, baik dalam masalah-masalah kecil maupun yang besar.

Ideologi (Mabda’) Islam telah mengatur bagaimana Negara menjalankan pemerintahan, mengatasi kesenjangan ekonomi, menyejahterakan kehidupan social masyarakat, dan mengatasi masalah keamanan masyarakat. Oleh karena itulah jika melihat kondisi diatas, pada akhirnya siapa yang layak untuk mengelolaa pelabuhan tidak lain adalah pemerintah pusat (sentralistik), adanya pelimpahan kewenangan dalam hal pengelolaan yang diberikan kepada pihak asing tidak lain adalah sebagai upaya mandul pemerintah yang ingin menutupi keborokannya yang selama ini terjadi takkala pengelolaan pelabuhan itu dilakukan secara monopoli atau hanya segelintir orang yang memanfaatkannya sehingga tidak dirasakan oleh masyarakat output yang dihasilkannya. Dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah memberikan solusi dengan merevisi UU No. 21/1992 mengenai Pelayaran dan tata pengelolaannya dimana pada UU tersebut juga tercantum didalamnya penambahan pasal yang menjelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pelabuhan umum maupun khusus dapat dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan Swasta. Atas dasar inilah Sepak terjang privatisasi di Indonesia dimulai, selang beberapa waktu setelah pembahasan UU Pelayaran tersebut sudah ada dua pelabuhan yang dioperasikan oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di Tanjung Priok oleh perusahaan Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya, oleh perusahaan Australia.



Siapa yang diuntungkan?

Setelah lebih dari satu dasawarsa, ternyata privatisasi dan kehadiran asing tak memberikan banyak maslahat. Juga tak banyak mengubah peta dunia pelayaran nasional. Arus keluar-masuk peti kemas masih saja lewat Singapura dan lebih dari 90 persen diangkut oleh kapal-kapal asing. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia tetap saja tidak efisien dengan tarif efektif jasa pelabuhan yang relatif sangat mahal.

Sementara itu, PT Pelindo praktis jalan di tempat sehingga kinerja pelabuhan-pelabuhan kita kian tertinggal dari pelabuhan-pelabuhan negara tetangga. Tanpa pembenahan mendasar, pelayanan pelabuhan di Tanah Air akan semakin kedodoran melayani arus ekspor dan impor yang terus naik.
Dengan pelayanan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya yang bertambah buruk, sektor industri manufaktur dan sektor pertanian sulit berkembang secara optimal dalam bertarung di kancah pasar global. Industri manufaktur akan tersingkir dari pola jaringan produksi global yang mensyaratkan keandalan sistem logistik dan supply chain.

Pembenahan kepelabuhanan dan pelayaran tak bisa lagi dilakukan sekeping-sekeping. “Titik pijak dalam melakukan pembenahan ialah mewujudkan visi negara maritim yang tangguh dan mengokohkan Indonesia sebagai negara kesatuan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Menurut Faisal Basri

Kemudian lanjutnya, “Semua kelompok kepentingan yang bercokol di seputar usaha kepelabuhanan dan pelayaran harus tunduk pada visi tersebut. Sah-sah saja mengedepankan dimensi bisnis, tetapi jangan sampai merapuhkan kedaulatan negara. Kemampuan armada pelayaran nasional harus terus dikedepankan dan menikmati porsi yang kian besar dalam lalu lintas barang, terutama dalam pelayaran nusantara/nasional.

Proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) pelayaran yang melahirkan prokontra menunjukkan bahwa kalangan pemerintah sendiri belum memiliki kesatuan pandangan dan sikap. Setiap instansi yang memiliki kepentingan berbeda melakukan manuver sendiri-sendiri ke Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang menggodok RUU ini.

Publik tak tahu apakah penyusunan RUU didahului oleh kajian akademik yang solid. Lebih parah lagi kalau kajian akademik tak pernah dilakukan sebagaimana ditengarai oleh salah seorang anggota DPR yang turut berkecimpung langsung dalam pembahasan RUU pelayaran ini.

Dihadapkan pada kenyataan yang memilukan tersebut, agaknya wajar saja kalau salah satu pemangku kepentingan, yakni kalangan pekerja pelabuhan, memercikkan kegundahan mereka dengan ancaman melakukan mogok kerja.



Akibat Privatisasi disegala Bidang

Selain itu, privatisasi disegala bidang menyebabkan: Pertama, tersentralisasinya aset yang dimiliki baik sebagai kepemilikan umum/maupun pengelolaan untuk kepentingan banyak orang pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar serta kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapatkan pelayanan secara lebih baik. Aset tersebut akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.

Kedua, privatisasi di negeri-negeri Islam yang dibarengi dengan dibukanya pintu untuk para investor asing—baik perorangan maupun perusahaan—akan menjerumuskan negeri-negeri Islam ke dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan negeri-negeri Islam.

Ketiga, menghapuskan kepemilikan umum,  karena  negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Padahal, negaralah yang wajib membangun infrastruktur untuk meningkatkan jalur pengelolaan pelabuhan untuk kepentingan umum. Dengan privatisasi, berarti kewajiban penguasa ini dilepaskan, lalu diserahkan kepada swasta, yang tentu saja memandang masyarakat sebagai komoditi yang harus membayar, bukan pemiliknya.

Kekisruhan privatisasi di Pelabuhan Tanjung Priok lebih disebabkan kelalaian pemerintah dan ”mandul gereget” PT Pelindo II sebagai badan usaha milik negara—bersama-sama dengan BUMN kepelabuhanan lainnya—yang diberikan kewenangan oleh undang-undang sebagai penyelenggara satu-satunya usaha kepelabuhanan di seluruh Indonesia.



b.    Pertarungan dua konsep kapitalis antara Monopoli dan Liberalisasi membuahkan kesengsaraan terhadap Pekarja-pekerja di Pelabuhan?

JAKARTA: Pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayaran berlanjut. Pekerja bongkar muat Pelabuhan Tanjung Priok kemarin menyatakan dukungannya terhadap RUU tersebut, sementara ribuan pekerja PT Pelabuhan Indonesia akan menggelar demonstrasi di DPR untuk menolak pengesahan RUU itu.

Tb. Romli, Ketua Serikat Pekerja Maritim (SPMI) Tanjung Priok, mengatakan selama ini tidak ada satu pihak pun yang memedulikan nasib TKBM di pelabuhan, termasuk Pelindo.

Bahkan, ujarnya, status TKBM hingga saat ini tidak ada kejelasan karena mereka hanya mendapatkan pekerjaan satu hingga dua minggu dalam sebulan. "Penghasilan yang diperoleh TKBM saat ini masih di bawah standar upah minimum provinsi, bahkan sebagian di antara mereka sudah berusia lanjut," ujarnya.

Karena itu, TKBM berharap UU Pelayaran dapat membawa perubahan untuk mengangkat taraf hidup mereka yang selama ini tidak pernah memperoleh fasilitas atau sarana kerja apa pun dari pelayanan bongkar muat di pelabuhan.

indosiar.com, Jakarta - Ribuan karyawan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) menggelar aksi unjuk rasa serentak menolak Rancangan Undang Undang RUU Pelayaran yang tengah dibahas di DPR. Di Jakarta ratusan karyawan Pelindo berunjuk rasa dengan mendatangi gedung DPR RI di Senayan Jakarta

Para demonstran melihat adanya upaya-upaya pengurangan wewenang Pelindo sebagai regulator dan operator pelabuhan yang nantinya disinyalir mengarah pada penjualan aset dan rasionalisasi karyawan.

Hambar Wiyadi, Sekretaris Serikat Pekerja Pelabuhan Tanjung Priok yang juga Juru Bicara Pelindo II Cabang Tanjung Priok, mengatakan aksi itu merupakan respons pekerja pelabuhan terhadap kemungkinan PHK setelah pengesahan RUU Pelayaran.

"Kami tak alergi dengan perubahan di pelabuhan, tapi kami menolak liberalisasi pelabuhan dalam RUU Pelayaran," katanya.

UU Pelayaran yang baru disahkan itu merupakan penyempurnaan atas UU Nomor 21 Tahun 1992. UU baru terdiri atas 22 bab dan 355 pasal atau lebih banyak dari usulan pemerintah yang mengajukan 17 bab dan 164 pasal. sejumlah karyawan Pelindo yang berdemonstrasi, Hasto mengatakan, Kongres AS saja menentang keras pengambilalihan pengelolaan pelabuhan oleh swasta. Dia berpendapat, liberalisasi pelabuhan di Indonesia bisa berdampak menghancurkan Pelindo. Karyawan Pelindo juga terpaksa dirasionalisasi demi efisiensi dan persaingan usaha. "Ada upaya sistematis untuk meliuidasi Pelindo," ujar Hasto menyimpulkan.

Hampir di semua negara saat ini, problema ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari selalu adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan 'mahalnya' gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, sosial bahkan politis. Sementara di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka penganguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan penguasa yang merugikan pekerja, seperti  perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab  dan beribadah dll.

Di Indonesia , selama masa Orde Baru hingga saat ini, kondisi buruh sangat memprihatinkan. Dengan alasan mengejar angka pertumbuhan pembangunan, buruh  mengalami dehumanisasi secara sistematis.

Bagi buruh sendiri,  melakukan unjuk rasa  atau pemogokan massal menjadi pilihan yang sering dilakukan  untuk menarik  perhatian terhadap realitas kehidupan kaum buruh yang sarat kesulitan. Dari tahun 2002 hingga tahun 2007 ini Ditjen Binawas Depnaker mencatat sekitar 2600 kali pemogokan buruh dan ribuan kali demontrasi buruh. Kondisi seperti ini tentunya, bukanlah kondisi yang kondusif untuk bekerja dan berusaha.

Bila pola hubungan buruh dan pemilik usaha yang seharusnya setara dalam format simbiosis mutualisma (saling menguntungkan) terus berubah menjadi hubungan budak-majikan. Tampak dari tindakan penguasa yang semena-mena terhadap buruh. Bila hal ini terus terjadi, tidak tertutup  kemungkinan muncul kondisi seperti  perburuhan di Eropa dan Amerika abad ke-18 yang kemudian melahirkan demontrasi berbuntut kerusuhan besar tahun 1886 (peristiwa ini kemudian mengilhami lahirnya Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei)

Memang persoalan buruh merupakan problem multidimensional. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya problem ini, seperti  ekonomi, politik, keamanan nasional bahkan intervensi negara-negara besar. Karena itu penyelesaiannya membutuhkan kebijakan komprehensif dan mendasar. Karena persoalannya, merupakan persoalan yang sistemik, maka penyelesainnya juga haruslah lewat perubahan sistem kehidupan. Secara garis besar persoalan buruh/pekerja meliputi:

Problem Kesejahteraan Hidup


Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa gaji (upah) maka pencapaian kesejahteraan tergantung kepada kemampuan gaji memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup yang selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi  dll.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. 

Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP (United  Nations Development Progamme), Rabu (24/7/2002), Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia , bertengger negara Myanmar, Kamboja , dan Laos. Tak pelak, Kesejahteraan Indonesia di tingkat internasional juga buruk Masih menurut UNDP, Indonesia menempati posisi 110 dari 173 negara, berada ‘kalah’ dari Vietnam (Republika, 25/7/2002). Padahal bukankah Indonesia negeri yang alamnya sangat kaya ?

Sementara itu, dalam sistem Kapitalis (yang juga dianut oleh Indonesia) peran negara diminimkan, sebatas pengatur. Kenyataan yang terjadi adalah , negara mengabaikan kesejahteraan rakyat.. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai kemauannya. Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil sementara kebutuhan cukup besar, menjadi resiko hidup yang harus ditanggung setiap warganegara. Negara berlepas diri dari 'pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara' apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.

Negara biasanya baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaringan Pengaman Sosial), pengobatan gratis, dsb. Itupun dalam jumlah terbatas, dengan syarat yang sering  memberatkan, dan yang jelas sifatnya hanya sementara (sesaat).Belum lagi , besarnya kebocoran dari dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah minim.  Pada sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah ruah sangat banyak pada hampir seluruh pelosok negeri, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusahadan penguasa) untuk memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata. Kolusi  intra dan antar pengusaha danpenguasa melalui praktek KKN, kontrak karya, hak eksploitasi dsb. terjadi setiap hari tanpa memperhatikan kesengsaraan hidup kaum buruh. Bagi buruh ( dan komponen rakyat lainnya) jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder untuk hidup lebih nyaman , kebutuhan primer untuk makan saja sangatlah sulit. 

Problem Pemutusan Hubungan Kerja


Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK.  PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumlah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2007, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 68 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berakibat banyak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentunya asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB) dan pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Hanya saja, dalam kondisi dimana tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar maka PHK, dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi 'bencana besar' yang sangat menakutkan para buruh.

Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan


Dalam masyarakat kapitalistik seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karenanya sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai 'pengurus dan penanggungjawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya'. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Sehingga prinsip struggle for life , benar-benar terjadi. Jika ia terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat ia harus bekerja lebih keras secara mutlak, begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama  seorang warga negara sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya .





c.     Indonesia masuk kedalam perangkap politik internasional  

Ungkapan Menhub Jusman Syafii Djamal tidak lain untuk menanggapi kekecewaan Indonesia Maritime & Ocean (IMO) Watch karena menganggap RUU Pelayaran tidak mengakomodasi kepentingan daerah dan swasta dalam pengelolaan pelabuhan umum, sesuai dengan semangat otonomi daerah.

Ketua IMO Watch Anthon Sihombing mengungkapkan kekecewaan itu karena dalam RUU Pelayaran pemerintah dan DPR tetap memberikan hak eksklusif kepada Pelindo untuk mengelola pelabuhan.

Menurut Anthon, penataan ulang sistem pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia dengan menyertakan pemerintah daerah dan swasta nasional merupakan keharusan dalam rangka menciptakan persaingan sehat dan efisiensi dalam pelayanan kepelabuhanan.

Penataan pengelolaan pelabuhan umum di Indonesia, lanjutnya, sudah mendesak karena perkembangan infrastruktur dan kualitas pelayanan pelabuhan di Tanah Air saat ini cenderung stagnan.

Berbicara mengenai Pelayaran tentu tidak akan lepas dari pengaruh hukum internasional yang bersumber pula pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh badan-badan dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun perjanjian yang disepakati bersama (treaty, dll). Untuk itu Rancangan Undang-Undang Pelayaran yang merupakan revisi dari dari UU No. 21/1992 tidak lain terkait dengan pengawasan yang didasarkan pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO). Dalam Filosofi Marcopholo, mengatakan bahwa “ Siapa yang menguasai Pelabuhan suatu daerah tentu akan mudah mendapatkan otorisasi daerah tersebut”.

Untuk itulah dalam rangka kepentingan pihak asing dalam menghunjamkan cengkeraman hegemoni Imperialismenya, maka penguasaan terhadap pengelolaan Pelabuhan di wilayah-wilayah kaum muslimin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agenda besarnya itu.

Dalam literatur Hubungan Internasional persfektif Barat, dikatakan politik luar negeri pastilah ditujukan untuk mencapai kepentingan suatu negara. Karena itu tujuan nasional sebuah negara adalah perkara yang sangat penting. Politik luar negeri pada dasarnya merupakan semua sikap dan aktivitas dimana sebuah negara mencoba untuk menanggulangi masalah serta memetik  keuntungan dari lingkungan internasionalnya. Dengan demikian politik luar negeri sesungguhnya  merupakan hasil dari interaksi  lingkungan domestik dan lingkungan ekternalnya.   Menurut Hosti salah satu bentuk tujuan negara itu adalah  nilai dari kepentingan inti  yang melibatkan setiap eksistensi (keberadaan ) pemerintah dan bangsa yang harus dilindungi dan diperluas ( Holsti ; :Politik Internasional Kerangka untuk Analisis halaman 137). Lebih jauh Hosti menjelaskan, tujuan untuk kepentingan dan nilai inti ini dapat digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya  kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan yang sebesar-besarnya. Nilai dan kepentingan inti ini biasanya dikemukan dalam bentuk asas-asas pokok  kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat.

Oleh karena itu ideologi sangatlah penting sebagai dasar interaksi sebuah negara dengan negara lain. Berdasarkan peta ideologi ini, di dunia ada tiga ideologi besar yang melakukan pertarungan: yakni Kapitalis, Sosialisme-Komunis, dan Islam. Negara-negara berbasis ideologis komunis-sosialis pernah berpengaruh  dalam era perang dingin (cold war). Namun setelah Rusia runtuh dan mengganti ideologinya menjadi Kapitalis, perannya semakin menyusut. Tinggallah saat ini dunia didominasi oleh ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Inggris  dan Perancis. Adapun Islam sejak  dibubarkannya Khilafah Islam, peran polugrinya tidak ada sama sekali. Negeri-negeri Islam selama ini didominiasi oleh negara-negara dengan basis ideologi Kapitalis atau Sosialis. Pasca perang dingin, total negeri-negeri Islam menginduk kepada Amerika Serikat atau negara-negara Eropa.

Untuk itu bagi ummat Islam sendiri, Pemahaman terhadap politik luar negeri merupakan suatu kebutuhan penting untuk melindungi eksistensi negara dan umat. Pemahaman ini juga merupakan prasyarat utama untuk dapat menyampaikan dakwah ke seluruh dunia, dan suatu langkah yang penting dalam menjalin hubungan yang baik antar umat dan bangsa lain.

Umat Islam berkewajiban menyampaikan dakwah ke seluruh umat manusia, harus berinteraksi dengan mereka, memahami permasalahannya, mengetahui motivasi setiap negara dan bangsa, mengikuti setiap peristiwa politik di dunia, mengamati gaya berpolitik setiap negara, mengamati perilaku hubungan dengan negara lain, dan memahami manuver-manuver politik yang mereka lakukan.

Oleh karena itu kaum muslimin harus menyadari realitas dunia Islam dalam memahami situasi politik internasional, dengan maksud untuk mengetahui aktivitas dan gaya politik yang dibutuhkan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah.

Dengan demikian, sangat penting memahami dengan sebaik-baiknya situasi internasional dan seluk beluknya. Wajib pula memahami kedudukan negara-negara di dunia yang memberikan pengaruh pada situasi politik internasional.

Pada saat ini, semua negara di dunia merupakan musuh Islam, karena mereka memeluk  ideologi yang bertentangan dengan Islam, dan menggunakan sudut pandang yang bertentangan secara diametral dengan sudut pandang Islam. Negara-negara adidaya, statusnya lebih dari sekedar musuh Islam, karena mereka mempunyai kepentingan (interest) dengan wilayah negeri-negeri Islam. Oleh karena itu mereka senantiasa menghancurkan Negara Islam, atau potensi apapun yang memungkinkan berdirinya kembali Khilafah untuk menghancurkan umat Islam.

Mereka menyiapkan rencana jangka panjang untuk mencegah kembalinya Khilafah, agar umat Islam tidak dapat kembali menjadi umat yang agung di antara umat lainnya. Mereka sibuk merancangrencana dan berusaha membuai umat Islam sebelum umat berjuang untuk kebangkitannya. Mereka akan melanjutkan usahanya menentang umat Islam, eksistensi dan kekuatannya, selama Negara Islam masih tegak atau atau selama mereka mempunyai kekuatan baik sebagai negara, bangs bahkan sebagai individu.

Kebijakan Politik tiap negara merupakan suatu pokok yang harus dipahami oleh setiap politisi muslim. Pengetahuan tentang sifat, rahasia, rencana, gaya, dan kemampuan negara-negara adidaya merupakan hal yang sangat penting bagi setiap muslim. Rincian dan pengetahuan praktis mengenai hal ini, perubahan yang terjadi setiap hari, alasan yang melandasi, serta pondasi kebijakan negara-negara adidaya merupakan pengetahuan pokok bagi politisi dan pemikir muslim. Pemahaman dan pengetahuan tersebut berguna untuk melindungi umat, mengamankan negara dan umat Islam, dan menyampaikan dakwah Islam ke seluruh dunia.

Dalam kondisi seperti ini cara satu-satunya bagi umat Islam untuk kembali memainkan perannya secara ideoligis sekarang ini adalah kembali menegakkan Khilafah Islam. Negara Khilafah Islam ini adalah negara yang didasarkan kepada Islam, menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia. Negara Khilafah Islam akan menjalankan politik luar negerinya berdasarkan Islam. Karena itu mengkaji kembali bagaimana politik luar negeri Islam dibawah Negara Khilafah Islam adalah sangat penting, untuk memberikan gambaran kepada siapa saja tentang ketinggian Islam. Dan ini juga penting untuk memberikan solusi kongkrit bagi berbagai krisis di dunia Islam saat ini seperti krisis Palestina, Afghanistan, Khasmir, tuduhan terorisme dan imperialisme AS.



Wahai kaum Muslim,

Ketika Islam tidak diterapkan dan urusan kita tidak lagi berada di tangan orang-orang yang amanah lagi takut kepada Allah SWT, banyak kepentingan vital kita diabaikan. Pengelolaan Pelabuhan yang seyogyanya menjadi urusan Negara hendak dirampas dan diserahkan kepada segelintir orang kaya, bahkan orang asing yang nota bene orang kafir yang hendak mengeksploitasi kita dengan RUU Pelayaran itu. Sungguh Allah swt. melarang kita untuk membiarkan kezaliman ini dan melarang kita menyutujui serta mendukung tindakan orang-orang zalim itu. Allah swt. berfirman:

]وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ[

"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hûd [11]: 113)





Wahai kaum Muslim,

Kita adalah umat terbaik yang diturunkan Allah SWT bagi manusia. Belum cukupkah fakta-fakta yang kita lihat—RUU SDA, RUU Migas, RUU Pertanahan/lahan termasuk RUU Pelayaran ini—menyadarkan kita bahwa hanya dengan syariat Islamlah kita akan mendapatkan keadilan dan hak-haknya? Benar, sudah saatnya kita menyatakan dengan terang “Kita butuh tegaknya syariat Islam.” Allah SWT berfirman:

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).  []



Jazakumullahu Khairon Katsiro

Penulis adalah Pemerhati Politik Dari Hizbut Tahrir Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar