Selasa, 19 Februari 2013

Manajemen Persfektif Syari'ah



MANAJEMEN PERSPEKTIF SYARIAH

 KRITIK TERHADAP ORIENTASI MANAJEMEN UMUM

Pengaruh Ideologi Kapitalis - Sekuler
Semenjak ideologi kapitalis-sekuler berkembang dan merambah hampir seluruh permukaan bumi , terutama, setelah jatuhnya kekuasaan Khilafah Islam Utsmaniyah pada tahun 1924, bangsa-bangsa di dunia  memasuki  sistem kehidupan  sekuleristik. Tidak terkecuali umat Islam  yang terpecah dalam lebih dari 50 negeri Islam.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik,  kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.  
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya  harus diraih. Dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat kesanalah orang mengacu.  Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat  yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial  hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik  intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini  bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat  yang mampu mengadaptasi  semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat.  Sikap beragama seperti ini menyebabkan  sebagian  umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja  yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem  pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama.  Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) -- penulis masalah kekristenan dalam pendidikan (Christianity in Education) – seperti yang dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, secara transparan telah menjelaskan bahwa  sekulerisasi pendidikan  memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat pada abad ke-15 dan 16, yakni  ketika terjadi pemisahan  cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yang  bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai akal manusia semata yang         tidak perlu dihubungkan dengan agama. Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya mendorong  munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Alam”.  Penggolongan ini yang kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia Muslim.   Bahkan, dalam perencanaan kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama  tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib. Para  siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tersebut.
Pendidikan yang materialistik  memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.  Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual. Nilai transendental dirasa  tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan.  Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas,  membawa  kita pada  satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan: bahwa  semua itu telah menjauhkan  manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.

Akar Permasalahan

Akar permasalahan mendasar dari berbagai krisis multidimensi yang tengah kita hadapi adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik  dan  individualistik,  sikap  beragama  yang  sinkretistik  dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya  hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi.  
Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme,   diartikan sebagai  iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan  di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nizhamul Islam, menjelaskan sekulerisme  sebagai fashluddin anil hayah, yaitu memisahkan agama (Islam) dari kehidupan.  Pemikiran sekulerisme berasal dari sejarah gelap  Eropa Barat di abad pertengahan.  Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang  ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis.  Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa  mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini,  akhirnya dihukum mati.  Maka sampailah para ilmuwan  dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan lainnya) harus  steril dari agama. Inilah  awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Tapi,  satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi  up to date.   Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan  tadi  lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang  sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal  pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.  Shalat adalah  ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat  sebagaimana keterikatan kaum muslimin  pada syariat di bidang  yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik.  Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada  ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.  Oleh karena itu,  benar-benar  sangat aneh jika umat Islam  ikut-ikutan menjadi sekuler.

Pengaruh Ideologi Kapitalis – Sekuler dalam  Aktivitas Manajemen
             Pengaruh ideologi kapitalis – sekuler dalam  aktivitas manajemen moderen setidaknya dapat dilacak pada dua hal.  Pengaruh pertama, hal yang paling mendasar, adalah dalam asas atau landasan beraktivitas manajemen. Aktivitas manajemen  sepenuhnya dipandang sebagai suatu aktivitas kehidupan yang bebas nilai dan tidak terikat  pada tolok ukur tertentu.  Pandangan seperti ini telah banyak menjebak para pelaku manajemen, yaitu dengan mencampuradukkan dua hal yang sejatinya adalah berbeda. Pandangan pertama adalah manajemen sebagai sebuah tool atau alat dalam membantu memperlancar  kegiatan hidup manusia.  Sebagai suatu alat sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, manajemen memang hal yang bebas nilai atau berhukum asal sebagai mubah atau boleh. Karenanya, siapapun boleh menggunakannya.  Pandangan ini benar, sebab ilmu manajemen memang  tidak mengandung hadlarah atau sistem nilai/peradaban dari suatu agama atau ideologi tertentu.
            Pandangan kedua – sebagai konsekuensi pandangan pertama - adalah bahwa semua aktivitas manusia dalam kaitannya dengan manajemen juga  bersifat bebas nilai. Perbuatan manusia dalam beraktivitas manajemen  tidaklah terkait dengan  kaidah halal-haram.  Pandangan inilah yang keliru, sehingga  merancukan pemahaman manusia akan hakikat perbuatan. Akibatnya,  syariah tidak lagi dipandang sebagai tolok ukur perbuatan  manusia. Sikap berbuat machiavelis, yakni tujuan menghalalkan segala cara,  akhirnya  menjadi  suatu hal yang wajar dilakukan.
            Pencampuradukan kedua pandangan tadi  mengentalkan sikap sekuler para manajer atau pelaku manajemen dalam melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan ruang lingkup manajemen. Jelasnya,  tolok ukur aktivitasnya disandarkan semata pada  kepentingan atau tujuan yang hendak diraih, bukan lagi pada syariah. Tolok ukur aktivitasnya  telah menafikan kaidah ushul  yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara: wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
          Pengaruh kedua,   pada orientasi manajemen. Pengaruh paham kapitalis- sekuler juga dapat dilihat pada  orientasi  manajemen yang umum digunakan.  Suatu organisasi perusahaan, apapun jenisnya, dikategorikan sebagai organisasi yang  baik bila telah memiliki tiga orientasi, yakni:
·       Target profit. Tujuan setiap perusahaan berdiri tentulah untuk mencari profit dan sedapat mungkin meraih profit yang setinggi-tingginya.
·       Pertumbuhan.  Jika profit telah diraih sesuai target, maka perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan tingkat profitnya.  Target profit perusahaan akan terus diupayakan untuk tumbuh meningkat setiap tahunnya.
·       Keberlangsungan.  Belum sempurna orientasi manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target profit dan pertumbuhan. Karena itu perlu diupayakan terus  agar pertumbuhan profit yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya.

Visi sekuler  di atas telah menghilangkan faktor  orientasi hasil yang tidak melulu profit materi, yakni hasil yang berwujud benefit nonmateri serta  faktor keberkahan atau  orientasi ridlo Allah SWT.  Hal ini memang sejalan dengan tipikal  kebahagian versi  sekuler yang serba bendawi dan konkrit.

Solusi Fundamental

Mengingat beratnya persoalan atau krisis yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan integral. Mengapa? Harus secara paradigmatik oleh karena semua problema yang ada sesungguhnya berpangkal sistem yang terlahir dari  pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Sekulerisme memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, mengingkari fitrah tauhid manusia dan bertentangan dengan akal sehat.
Berbagai problema tadi juga menghendaki solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yang parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi paradigmatik dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pendidikannya, berlandaskan pada aturan syariat Islam.

 

Solusi Fungsional dalam  Aktivitas Manajemen
Aktivitas manajemen adalah amal perbuatan manusia.  Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah juga berorientasi bagi pencapaian  ridlo Allah SWT. Hal ini – seperti dinyatakan oleh Imam Fudhail bin Iyad  dalam menjelaskan tafsir QS. Al Mulk: 2-3 - mensyaratkan perlu dipenuhinya dua syarat, yaitu niat yang ikhlas  dan cara yang sesuai dengan hukum syara. Dua syarat komplementer tersebut akan menghantarkan kualitas perbuatan manusia ke dalam kategori amal yang ahsan (ahsanul amal), yakni amal terbaik di sisi Allah SWT.
Dari paparan di atas dapat ditarik dua simpulan yang sekaligus menjadi solusi fungsional dalam meluruskan pemahaman beraktivitas manajemen. Pertama, sebagai ilmu, manajemen termasuk sesuatu yang bebas nilai atau berhukum asal mubah. Konsekuensinya, siapapun boleh mempelajarinya. Berkaitan dengan ini, kiranya perlu dicermati pernyataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,  Bab Ilmu. Beliau membagi ilmu  dalam dua kategori ilmu berdasarkan takaran kewajibannya, yaitu:.  (1) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu a’in, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini  adalah ilmu-ilmu tsaqofah Islam, seperti pemikiran, ide dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumu al-Qur’an dan tahfidzu al-Qur’an, ulumu al-Hadits dan tahfidzu al-Hadits, ushu al-fiqh dan sebagainya; (2) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh salah satu atau sebagian saja dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini  adalah ilmu-ilmu kehidupan yang mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan, seperti ilmu kimia, biologi, fisika, kedokteran, manajemen, pertanian, teknik dan sebagainya.
Pada sisi yang lain, secara fi’liyah (perbuatan), Rasul SAW pun telah  mencontohkannya. Dalam kitab Al Fathul Kabir, jilid III, misalnya, diketahui bahwa Rasul pernah mengutus dua orang shahabatnya ke negeri Yaman  guna mempelajari teknologi pembuatan senjata yang mutakhir saat itu, terutama sejenis alat perang yang bernama dabbabah. Mesin perang adalah sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasul memahami betul  manfaat senjata ini untuk  menerjang benteng lawan.
          Simpulan kedua, sebagai amal perbuatan, aktivitas manajemen yang dilakukan haruslah selalu berada dalam koridor syariah. Syariah harus menjadi tolok ukur aktivitas manajemen. Senafas dengan visi dan misi penciptaan dan kemusliman seseorang, maka  syariahlah satu-satunya yang menjadi kendali  amal perbuatannya. Hal ini berlaku bagi setiap muslim, siapa pun, kapan pun dan dimana pun dia. Inilah sebenarnya penjabaran dari kaidah ushul  yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni  wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
               

Selasa, 12 Februari 2013

Free Sex, IDU and HIV



FREE SEX, IDU and HIV
(Oleh : Aa’ Harits)

‘Say No to Free Sex and Drugs’. Tulisan poster itu mendominasi perayaan Hari AIDS di seluruh dunia tanggal 1 Desember kemaren. Perayaan tahunan ini ngingetin kita akan bahaya Human Immunodeficiency Virus (HIV). Suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi/penyakit. Kalo udah parah, tubuh penderita bakal menjadi sarang berbagai penyakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi inilah yang disebut AIDS alias Acquired Immunodeficiency Syndrome.
Sejak pertama kali dikenali tahun 1981,  HIV udah ngabisin kontrak hidup lebih dari 25 juta orang pengidapnya. Kini, pengidapnya sudah melebihi 40 juta orang. Hal tersebut terungkap dalam laporan terakhir epidemi HIV/AIDS PBB yang disiarkan di New Delhi, India, Senin (21/11). (Metrotvnews.com, 21/11/05). Sementara di Indonesia, Jumlah pengidap HIV/AIDS mencapai angka 8.251 orang.
Data itu berdasarkan hasil laporan Departemen Kesehatan per tanggal 31 September 2005. Dengan angka ini Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara pengidap HIV/AIDS terbesar di Asia setelah Cina dan Vietnam. (Indosiar.com, 08/11/05). Ini yang terdata lho. Yang belon terdata, mungkin lebih banyak lagi. Gawat!
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, atau air susu ibu. Ini artinya, perilaku seks bebas, penggunaan jarum suntik yang nggak steril di kalangan pecandu narkoba (IDU), transfusi darah, atau wanita hamil yang terjangkit HIV berisiko memberikan tongkat estafet mewabahnya HIV. Di antara perilaku yang memancing kehadiran HIV ini, Injection Drug Use (IDU) memimpin klasemen.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), per 30 September 2005 dari 32 provinsi ada sekitar 600 ribu orang Indonesia terjangkit HIV/AIDS.  Di Papua, penyebaran HIV melalui narkoba, jumlahnya mencapai 14 ribu atau 30 % dari total kasus. Di Pontianak, 70 % dari total kasus, dimana 3/4 dari mereka adalah pengguna narkoba.  Di Bali 53 % dari pengguna narkoba suntik positif HIV. Dan di DKI Jakarta 48 persen pengguna narkoba suntik positif HIV.
HIV/AIDS itu belum ada obatnya
Sobat, meski para ilmuwan udah banyak ngabisin waktu untuk nyari penangkal HIV, ternyata hasilnya masih nihil. Berbagai tes klinis menunjukkan mayoritas pasien yang telah menerima vaksin pun, tetap menunjukkan gejala AIDS. Para ilmuwan menduga bahwa HIV mempunyai kemampuan untuk terus-menerus memutasikan dirinya sehingga antibodi yang sudah terbentuk tidak dapat mengenalinya lagi dan infeksi berlangsung terus tanpa bisa dihentikan (Chemistry.org). ‘cerdas’ juga ya?
Kalo kita pikir, boleh jadi kemunculan virus HIV yang ‘cerdas’ dan mematikan ini sebagai peringatan dari Allah Swt. kepada para pelaku seks bebas, penyimpangan seks, atau pemakaian narkoba. Juga kepada masyarakat dan negara yang cuek dengan kemaksiatan ini. Catet tuh!
Perilaku seks bebas yang lahir dari gaya hidup permisif  alias serba boleh ini kian menjamur seiring masuknya budaya sekular-Barat ke negeri-negeri Muslim. Melalui jalan masuk kecanggihan teknologi dalam tv kabel dan internet, setiap orang dengan mudah mengakses segala info tentang seks. Nggak cuma teori, tapi merambah sampe tontonan yang dijadikan tuntunan. Walah!
Parahnya, kondisi yang memancing hasrat seksual ini seperti kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kemampuan negara untuk menyensor tayangan pornografi dan porno aksi yang beredar di televisi seolah tumpul di hadapan kebebasan pers yang diusung media massa. Penjualan atau penyewaan vcd/dvd porno tak pernah tuntas diberantas. Bahkan prostitusi yang udah jelas-jelas jadi penyakit masyarakat, dilegalkan dengan pemberian tempat lokalisasi. Kalo udah gini, sama aja ngasih dukungan bagi HIV untuk berkembang biak dari satu raga ke raga lainnya. Menyedihkan?
Lebih menyedihkan lagi jika penularan virus mematikan ini menghampiri korban yang tidak berisiko menjadi pengidap seperti bayi dan pasien transfusi darah. Lantaran sang ibu atau kantung darahnya telah terinfeksi HIV. Juga kemunculan anak-anak yatim-piatu yang ditinggal mati orangtuanya akibat AIDS. Masa’ sih kondisi ini akan terus dibiarkan?
Wajib dihentikan
Pasti.
Penyebaran HIV emang kudu kita stop. Banyak cara dilakukan orang-orang yang peduli untuk menghentikan laju wabah HIV. Seperti kampanye safe sex yang pernah dipopulerkan mendiang Harry Roesli melalui iklan layanan masyarakat. “Kenakan kondom atau kena!”. Ketika budaya seks bebas sulit dikendalikan, penggunaan kondom dijadikan andalan. Sehingga karet pengaman ini dengan mudah diperoleh di warung-warung. Malah ada penemuan yang menghadirkan mesin penyedia karet KB ini layaknya sebuah ATM yang ditempatkan di mal atau pusat perbelanjaan. Tapi benarkah alat pengaman ini bener-bener aman?
Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar. Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebarnya pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus pori-pori kondom. Masa’ saringan pasir dipake buat nyaring beras? Hehehe...
Makanya kampanye safe sex with condom nggak akan pernah bisa menahan laju penyebaran HIV. Malah mungkin makin mempercepat. Soalnya para pelaku seks bebas ngerasa aman sehingga berani gonta-ganti pasangan (padahal mah boro-boro aman. Udahk kena HIV, dosa lagi. double tekor tuh!).
Pakar AIDS, R, Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah (Republika, 12 November 1995). Tuh kan? Jadi jangan termasuk mitos ye.
Cara lain yang modelnya kurang lebih sama adalah penerapan metode harm reduction di berbagai kantong pengguna narkoba. Metode harm reduction dalam jangka pendek berupaya mengurangi dampak buruk penularan HIV lewat penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Caranya dengan menyuruh pengguna narkoba untuk tidak bergantian menggunakan jarum suntik yang sama, menyediakan jarum suntik steril, atau mengajari pengguna narkoba mensterilkan jarum suntik. Dalam jangka panjang, harm reduction memberikan penyuluhan dan berbagai upaya peningkatan life skill agar pemakaian narkoba berhenti. (Kompas, 19/05/05). Ah, yang benar aja neh?
Sobat, dua model kampanye di atas merupakan ciri khas masyarakat kapitalis yang kian frustasi ngadepin wabah HIV. Demi mengurangi risiko terinfeksi HIV, mereka tega ngebiarin orang tetep terjerumus. Padahal seks bebas juga berisiko menyebarkan Penyakit Menular Seksual (PMS). Dan pengguna narkoba bisa OD dan madesu alias masa depan suram.
Kalo kita mau berpikir lebih jernih, tentu bukan toleransi terhadap seks bebas atau penggunaan narkoba yang dikampanyekan sebagai wujud kepedulian terhadap HIV/AIDS. Melainkan mendesak pemerintah agar melarang dengan tegas segala bentuk seks bebas, penyimpangan seks, dan narkoba serta mengkondisikan masyarakat agar dapat menjauhi perilaku maksiat itu. Dan satu lagi yang nggak boleh lupa, terapkan hukum Islam oleh negara. Akur dong? Pasti!
Kiat Islam menggasak HIV/AIDS
Sobat muda muslim, masyarakat mungkin frustasi ngadepin HIV yang tetep mewabah.
Tapi kita selaku muslim, justru kudu optimis kalo Islam pasti punya jalan keluarnya. Pada masa Rasulullah saw., pernah ada satu daerah yang terjangkiti wabah penyakit tha’un (sejenis kolera.). Penyakit ini dengan mudah dan cepat  menular kepada yang lainnya. Mendengar berita ini Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu mendengar waba’ (tha’un) sedang berjangkit di suatu tempat, maka jangan kamu masuk ke tempat itu. Dan jika berjangkit dalam negeri yang kamu sedang berada di dalamnya, maka jangan kamu keluar daripadanya.” (HR  Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan pada kita upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit menular ke orang lain. Sepertinya upaya ini juga bisa dipake untuk kasus HIV/AIDS. Ada baiknya jika pengidap HIV/AIDS dikumpulkan pada satu daerah dengan kelengkapan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang memadai.
Meski terkesan agak ‘kejam’ dengan mengisolasi para ODHA bukan berarti mereka dikucilkan lho. Karena penyebaran virus HIV ini tidak melalui udara, jabatan tangan, atau sekeaar ngobrol, boleh jadi mereka tetep bisa sosialisasi dengan yang lain di luar komunitasnya. Negara tetep memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti yang lain. Hanya saja, dengan dikumpulkan di satu daerah, tentu penyebaran HIV akan lebih mudah terawasi oleh pemerintah. Sehingga diharapkan wabah HIV bisa lebih cepat ditangani oleh negara.
Bagi yang belum terinfeksi, tentu negara bakal gencar mensosialisasikan informasi seputar HIV/AIDS, bahayanya, dan cara menghindarinya. Selain itu, negara juga kudu  turun tangan untuk ngebenahin kondisi yang bisa memancing orang ngeseks bebas dan make narkoba. Dengan menutup semua lokalisasi/pub/diskotik, mencekal tayangan erotis di televisi dan bioskop, dan pemberantasan narkoba tanpa kecuali. Ditambah pemberlakukan hukuman jilid (cambuk) atau rajam bagi pelaku seks bebas. Juga jilid plus penjara bagi bandar, penjual, pengedar, peracik, atau pengguna narkoba.
Semua langkah-langkah di atas akan terlaksana sesuai harapan kita kalo negara mau nerapin hukum Islam secara menyeluruh. Seperti diperintahkan Allah swt dan dicontohkan Rasulullah saw. Tapi kan negara kita sekarang bukan negara Islam?
Itulah masalahnya. Ketika hukum Islam dicuekin oleh negara, nggak sedikit rakyatnya yang ikut-ikutan cuek. Akibatnya, kesengsaraan hidup seperti penyebaran HIV/AIDS bakal diperoleh. Padahal Allah udah ngingetin dalam firmanNya:
“Siapa saja yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”
(QS Thaahaa [20]: 123-124)
Untuk itu, mari kita sama-sama suarakan kebenaran Islam di tengah masyarakat. Kita desak negara agak mau pake sistem Islam untuk ngatur rakyatnya. Kita bongkar kebusukan sistem kapitalisme yang selama ini mengatur hidup kita. Kita lawan produk-produk sistem ini yang mengajak masyarakat untuk hidup sekuler, serba boleh (permissif) dalam berbuat demi meraih keuntungan, gaya hidup hedonis, atau memuja materi dan kesenangan dunia. Dan kita perdalam Islam dengan ikut ngaji. So, tunggu apalagi. Safe Our Live With Islam!



Info Penulis :
o Penulis adalah Pengasuh Acara Open Mind With Islam di Radio Fame 101,4 FM
o Konsult Dunia Remaja dari Syari’ah Islam Development (Syahid) Institute Bandung
o Phone contact : 0813-6774-7084

Bolehkah Menikahi Wanita Hamil?



Bolehkah Menikahi Wanita Hamil?
Oleh : Moh. Harist Al Muhasiby

Soal:
Bagaimana hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah?

Jawab:
Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama: wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua: wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat. Pertama: haram dinikahi. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi;1 termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Kedua: boleh dinikahi tanpa syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan mazhab Syafii.2 Ketiga: boleh dinikahi dengan syarat: (1) kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2) bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali.3

1. Dalil Kelompok Pertama.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).”
Kedua: Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim).
Ketiga: riwayat Said bin al-Musayyib yang menyatakan bahwa: pernah ada seorang pria menikahi wanita. Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi saw. Baginda pun menceraikan keduanya.” 4
Keempat: sabda Nabi saw. yang menyatakan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Tidaklah halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain (HR Abu Dawud).
Selain itu, kelompok ini berpendapat bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya adalah agar kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina) sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur aduk dengan air kemuliaan.5
Mazhab Maliki juga beragumen dengan pendapat Ibn Mas’ud ra. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah berzina selama-lamanya.” 6


2. Dalil Kelompok Kedua.
Pertama: Firman Allah SWT:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ
Telah dihalalkan bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina (QS an-Nisa’ [4]: 24).
Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
Perkara yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Jabir ra., bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita, maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan dari ‘Umar, “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Makkah, kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.” 7

3. Dalil Kelompok Ketiga.
Pertama: firman Allah SWT:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).
Alasannya, keharaman menikahi wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
Orang yang bertobat dari dosa statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa (Dikeluarkan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni)8
Kedua: Hadis penuturan Abi Said al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya) (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Dari ketiga pendapat di atas, menurut hemat kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan oleh mazhab Hanbali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat:
1. Kehamilannya telah berakhir, atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh saja pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat, karena tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan catatan, jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi: Pertama, nasab. Orang yang menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah tersebut menjamin keabsahan nasabnya. Kedua, perwalian. Anak mempunyai hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya. Ketiga, waris. Dengan adanya nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, III/241 dan 242; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, II/52 dan 53; Ibn al-Maudud, Al-Ikhtiyar, III/87.
2 Ibid.
3 Ad-Dardir, As-Syarh ash-Shaghir, II/410; al-Bahuti, Kassafu al-Qana’, V/83; Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, VI/604; Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/110.
4 Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t., IX/514.
5 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, XII/170; ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, II/410 dan 717.
6 Yahya ‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 80.