Selasa, 19 Februari 2013

Manajemen Persfektif Syari'ah



MANAJEMEN PERSPEKTIF SYARIAH

 KRITIK TERHADAP ORIENTASI MANAJEMEN UMUM

Pengaruh Ideologi Kapitalis - Sekuler
Semenjak ideologi kapitalis-sekuler berkembang dan merambah hampir seluruh permukaan bumi , terutama, setelah jatuhnya kekuasaan Khilafah Islam Utsmaniyah pada tahun 1924, bangsa-bangsa di dunia  memasuki  sistem kehidupan  sekuleristik. Tidak terkecuali umat Islam  yang terpecah dalam lebih dari 50 negeri Islam.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik,  kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.  
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya  harus diraih. Dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat kesanalah orang mengacu.  Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat  yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial  hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik  intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini  bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat  yang mampu mengadaptasi  semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat.  Sikap beragama seperti ini menyebabkan  sebagian  umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja  yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem  pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama.  Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) -- penulis masalah kekristenan dalam pendidikan (Christianity in Education) – seperti yang dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, secara transparan telah menjelaskan bahwa  sekulerisasi pendidikan  memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat pada abad ke-15 dan 16, yakni  ketika terjadi pemisahan  cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yang  bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai akal manusia semata yang         tidak perlu dihubungkan dengan agama. Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya mendorong  munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Alam”.  Penggolongan ini yang kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia Muslim.   Bahkan, dalam perencanaan kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama  tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib. Para  siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tersebut.
Pendidikan yang materialistik  memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.  Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual. Nilai transendental dirasa  tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan.  Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas,  membawa  kita pada  satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan: bahwa  semua itu telah menjauhkan  manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.

Akar Permasalahan

Akar permasalahan mendasar dari berbagai krisis multidimensi yang tengah kita hadapi adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik  dan  individualistik,  sikap  beragama  yang  sinkretistik  dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya  hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi.  
Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme,   diartikan sebagai  iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan  di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nizhamul Islam, menjelaskan sekulerisme  sebagai fashluddin anil hayah, yaitu memisahkan agama (Islam) dari kehidupan.  Pemikiran sekulerisme berasal dari sejarah gelap  Eropa Barat di abad pertengahan.  Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang  ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis.  Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa  mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini,  akhirnya dihukum mati.  Maka sampailah para ilmuwan  dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan lainnya) harus  steril dari agama. Inilah  awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Tapi,  satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi  up to date.   Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan  tadi  lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang  sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal  pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.  Shalat adalah  ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat  sebagaimana keterikatan kaum muslimin  pada syariat di bidang  yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik.  Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada  ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.  Oleh karena itu,  benar-benar  sangat aneh jika umat Islam  ikut-ikutan menjadi sekuler.

Pengaruh Ideologi Kapitalis – Sekuler dalam  Aktivitas Manajemen
             Pengaruh ideologi kapitalis – sekuler dalam  aktivitas manajemen moderen setidaknya dapat dilacak pada dua hal.  Pengaruh pertama, hal yang paling mendasar, adalah dalam asas atau landasan beraktivitas manajemen. Aktivitas manajemen  sepenuhnya dipandang sebagai suatu aktivitas kehidupan yang bebas nilai dan tidak terikat  pada tolok ukur tertentu.  Pandangan seperti ini telah banyak menjebak para pelaku manajemen, yaitu dengan mencampuradukkan dua hal yang sejatinya adalah berbeda. Pandangan pertama adalah manajemen sebagai sebuah tool atau alat dalam membantu memperlancar  kegiatan hidup manusia.  Sebagai suatu alat sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, manajemen memang hal yang bebas nilai atau berhukum asal sebagai mubah atau boleh. Karenanya, siapapun boleh menggunakannya.  Pandangan ini benar, sebab ilmu manajemen memang  tidak mengandung hadlarah atau sistem nilai/peradaban dari suatu agama atau ideologi tertentu.
            Pandangan kedua – sebagai konsekuensi pandangan pertama - adalah bahwa semua aktivitas manusia dalam kaitannya dengan manajemen juga  bersifat bebas nilai. Perbuatan manusia dalam beraktivitas manajemen  tidaklah terkait dengan  kaidah halal-haram.  Pandangan inilah yang keliru, sehingga  merancukan pemahaman manusia akan hakikat perbuatan. Akibatnya,  syariah tidak lagi dipandang sebagai tolok ukur perbuatan  manusia. Sikap berbuat machiavelis, yakni tujuan menghalalkan segala cara,  akhirnya  menjadi  suatu hal yang wajar dilakukan.
            Pencampuradukan kedua pandangan tadi  mengentalkan sikap sekuler para manajer atau pelaku manajemen dalam melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan ruang lingkup manajemen. Jelasnya,  tolok ukur aktivitasnya disandarkan semata pada  kepentingan atau tujuan yang hendak diraih, bukan lagi pada syariah. Tolok ukur aktivitasnya  telah menafikan kaidah ushul  yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara: wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
          Pengaruh kedua,   pada orientasi manajemen. Pengaruh paham kapitalis- sekuler juga dapat dilihat pada  orientasi  manajemen yang umum digunakan.  Suatu organisasi perusahaan, apapun jenisnya, dikategorikan sebagai organisasi yang  baik bila telah memiliki tiga orientasi, yakni:
·       Target profit. Tujuan setiap perusahaan berdiri tentulah untuk mencari profit dan sedapat mungkin meraih profit yang setinggi-tingginya.
·       Pertumbuhan.  Jika profit telah diraih sesuai target, maka perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan tingkat profitnya.  Target profit perusahaan akan terus diupayakan untuk tumbuh meningkat setiap tahunnya.
·       Keberlangsungan.  Belum sempurna orientasi manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target profit dan pertumbuhan. Karena itu perlu diupayakan terus  agar pertumbuhan profit yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya.

Visi sekuler  di atas telah menghilangkan faktor  orientasi hasil yang tidak melulu profit materi, yakni hasil yang berwujud benefit nonmateri serta  faktor keberkahan atau  orientasi ridlo Allah SWT.  Hal ini memang sejalan dengan tipikal  kebahagian versi  sekuler yang serba bendawi dan konkrit.

Solusi Fundamental

Mengingat beratnya persoalan atau krisis yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan integral. Mengapa? Harus secara paradigmatik oleh karena semua problema yang ada sesungguhnya berpangkal sistem yang terlahir dari  pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Sekulerisme memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, mengingkari fitrah tauhid manusia dan bertentangan dengan akal sehat.
Berbagai problema tadi juga menghendaki solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yang parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi paradigmatik dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pendidikannya, berlandaskan pada aturan syariat Islam.

 

Solusi Fungsional dalam  Aktivitas Manajemen
Aktivitas manajemen adalah amal perbuatan manusia.  Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah juga berorientasi bagi pencapaian  ridlo Allah SWT. Hal ini – seperti dinyatakan oleh Imam Fudhail bin Iyad  dalam menjelaskan tafsir QS. Al Mulk: 2-3 - mensyaratkan perlu dipenuhinya dua syarat, yaitu niat yang ikhlas  dan cara yang sesuai dengan hukum syara. Dua syarat komplementer tersebut akan menghantarkan kualitas perbuatan manusia ke dalam kategori amal yang ahsan (ahsanul amal), yakni amal terbaik di sisi Allah SWT.
Dari paparan di atas dapat ditarik dua simpulan yang sekaligus menjadi solusi fungsional dalam meluruskan pemahaman beraktivitas manajemen. Pertama, sebagai ilmu, manajemen termasuk sesuatu yang bebas nilai atau berhukum asal mubah. Konsekuensinya, siapapun boleh mempelajarinya. Berkaitan dengan ini, kiranya perlu dicermati pernyataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,  Bab Ilmu. Beliau membagi ilmu  dalam dua kategori ilmu berdasarkan takaran kewajibannya, yaitu:.  (1) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu a’in, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini  adalah ilmu-ilmu tsaqofah Islam, seperti pemikiran, ide dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumu al-Qur’an dan tahfidzu al-Qur’an, ulumu al-Hadits dan tahfidzu al-Hadits, ushu al-fiqh dan sebagainya; (2) ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh salah satu atau sebagian saja dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini  adalah ilmu-ilmu kehidupan yang mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan, seperti ilmu kimia, biologi, fisika, kedokteran, manajemen, pertanian, teknik dan sebagainya.
Pada sisi yang lain, secara fi’liyah (perbuatan), Rasul SAW pun telah  mencontohkannya. Dalam kitab Al Fathul Kabir, jilid III, misalnya, diketahui bahwa Rasul pernah mengutus dua orang shahabatnya ke negeri Yaman  guna mempelajari teknologi pembuatan senjata yang mutakhir saat itu, terutama sejenis alat perang yang bernama dabbabah. Mesin perang adalah sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasul memahami betul  manfaat senjata ini untuk  menerjang benteng lawan.
          Simpulan kedua, sebagai amal perbuatan, aktivitas manajemen yang dilakukan haruslah selalu berada dalam koridor syariah. Syariah harus menjadi tolok ukur aktivitas manajemen. Senafas dengan visi dan misi penciptaan dan kemusliman seseorang, maka  syariahlah satu-satunya yang menjadi kendali  amal perbuatannya. Hal ini berlaku bagi setiap muslim, siapa pun, kapan pun dan dimana pun dia. Inilah sebenarnya penjabaran dari kaidah ushul  yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’I”, yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang lima, yakni  wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar