Beras : Mengapa Mesti Impor
(Oleh : Asdianto, SP)
Angka produksi tanaman pangan, khususnya
padi, ternyata masih sering menjadi perdebatan dan polemik nasional. Seperti
yang saat ini masih hangat, yaitu perlu atau tidaknya impor beras. Hal ini
diperdebatkan karena BULOG tidak dapat mengisi cadangan berasnya dari pengadaan
dalam negeri. Sementara dilain pihak, ARAM I BPS menunjukkan produksi yang
cukup. Kesangsian bahwa produksi padi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
nasional semakin diperkeruh dengan berita adanya kelangkaan pupuk dan kasus
rawan pangan.
Dalam memproduksi tanaman pangan,
khususnya padi sawah, petani telah memanfaatkan teknologi produksi yang
tersedia, terutama sejak dilakukannya Revolusi Hijau. Berbagai jenis teknologi telah diperkenalkan dan
dipraktekkan untuk meningkatkan produktivitas.
Namun, kemampuan dan keunggulan teknologi
produksi ini belum dibarengi oleh tersedianya areal sawah yang memadai.
Terlebih lagi laju alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian cukup
besar. Indikator yang menunjukkan
kekurangan luas areal sawah ini adalah rendahnya indeks luasan panen padi per
kapita per tahun. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, indeks
luasan panen per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil, hanya seluas 531 m2 per kapita (IRRI, 2002).
Melihat hasil produksi pangan, khususnya
beras, pada tahun 2004 dan 2005 kita bisa berswasembada. Berdasarkan Angka
Sementara (ASEM) BPS produksi padi tahun 2005 mengalami surplus, meskipun hanya
sedikit yaitu 15 ribu ton. Sedangkan berdasarkan Angka Ramalan I 2006 BPS
menunjukkan angka produksi padi sebesar 54,25 juta ton GKG. Angka itu meskipun
naik dibanding produksi tahun 2005, tapi prosentasenya masih di bawah laju
pertumbuhan penduduk. Kenaikan produksi padi 0,37 persen, sementara kenaikan
penduduk mencapai 1,2 persen/tahun. Angka produksi tersebut (54,25 juta ton)
masih jauh dari target sasaran produksi padi untuk tahun 2006 sebesar 54,8 juta
ton.
Upaya untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan semakin tidak mudah
dengan ancaman musibah bencana alam, seperti banjir, tanah longsor,
meningkatnya aktivitas gunung berapi dan gempa bumi sebagaimana yang terjadi
pagi dini hari Sabtu tanggal 27 Mei di DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kondisi
seperti ini mengharuskan pemerintah untuk lebih mawas diri dan menuntut pemerintah
agar lebih meningkatkan upaya pengamanan produksi tanaman pangan untuk mencegah
terjadinya kerawanan pangan.
Beberapa kebijakan
telah diambil dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas. Untuk
meningkatkan produktivitas, akan dilakukan upaya peningkatan produktivitas pada
500.000 ha pertanaman padi sawah dan peningkatan produksi jagung di Sulawesi (Celebes Corn Islands). Selain itu
dilakukan pula upaya revitalisasi perbenihan, antara lain melalui penguatan
kelembagaan perbenihan di daerah, seperti Balai Benih, produsen/penangkar benih
dan BPSBTPH. Untuk pemecahan masalah kelangkaan pupuk, selain memperbaiki
sistem penyediaan dan distribusi, Pemerintah mengijinkan untuk melakukan impor
pupuk. Sedangkan untuk mengurangi dampak konversi lahan, melalui Ditjen
Pengelolaan Lahan dan Air, akan dilakukan perbaikan saluran irigasi pada
tingkat usahatani sekitar 200.000 ha dengan sistem padat karya. Dengan
perbaikan ini diharapkan lahan tersebut dapat ditanami 2 (dua) kali dalam
setahun. Dan masih banyak lagi upaya-upaya yang akan dilakukan untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan.(Deptan, Pertemuan
ARAM II 2006 di Manado, Juni 2006).
Pembahasan ARAM II
2006 menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan dimana untuk Produksi Padi Tahun
2006 diperkirakan mengalami penurunan hampir 35 % dari produksi yang ada
sehingga angka produksi hanya bisa mencapai 52,17 juta ton, artinya bahwa
pemerintah dalam hal ini mulai mempersiapkan diri untuk menyusun antisipasi
ketersediaan beras jika pada akhir desember 2006 nanti angka produksi masih
mengalami penurunan. Mengapa kondisi ini terjadi apakah permasalahan pertanian
masih hanya seputar produksi saja atau adanya kebijakan politik yang melatar belakangi
semua ini, untuk itu dalam tulisan kali
ini akan dicoba untuk menganalisa sejauhmana pengaruh Pertanian terhadap
pendapatan negara dan bagaimana pandangan islam mengenai politik pertanian
dewasa ini.
Urgensi Bidang Pertanian
Bidang pertanian merupakan bidang penting dalam sebuah
negara. Hasil-hasil pertanian digunakan
untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia seperti makan dan minum serta kebutuhan
asasi individual, yakni pakaian dan perumahan.
Belum lagi berbagai produk olahan yang menunjang kenyamanan hidup
manusia seperti obat-obatan, kosmetika, kerajinan, dan sebagainya. Dengan penduduk
216 juta jiwa, Indonesia saat ini, misalnya, membutuhkan bahan pangan pokok
sekurang-kurangnya 53 juta ton beras, 12.5 juta ton jagung. dan 3.0 juta ton
kedelai. Bahkan jika berdasarkan angka tetap (ATAP) BPS tahun 2004 dan 2005 maka produksi beras
nasional yang 54,24 Juta Ton pada tahun 2004 dan tahun 2005 pada dasarnya sudah
bisa untuk mencukupi ketersediaan pangan di Indonesia, begitu pula dengan produksi jagung yang mencapai 12,46
Juta ton dengan produksi kedelai sebesar
827,9 ribu ton.akan tetapi kurangnya ketersediaan pangan dilapangan dan
tingginya harga bahan makanan pokok masih saja dirasakan oleh masyarakat, belum
lagi dengan adanya impor bersa yang menambah catatan utang luar negeri membuat
kita harus lebih peka memperhatikan masalah pertanian ini.
Masalah pertanian ini pun sering digunakan dalam kancah
politik luar negeri suatu negara. Pada
Perang Ahzab, di tengah-tengah kekhawatiran yang mengepung kaum Muslim,
Rasulullah saw. pergi menjumpai Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr dan
Harits bin Auf bin Abu Haritsah al-Murri, yang saat itu menjadi panglima Perang
Ghathfan. Beliau menawarkan sepertiga
hasil buah-buahan kota Madinah (kepada mereka), dan sebagai kompensasinya
keduanya pulang bersama pasukannya, tidak terlibat dalam persekutuan
bersama-sama dengan pasukan Quraisy.[i] Penghentian impor gandum Amerika ke Uni Soviet turut mempercepat
keruntuhan negara tirai besi tersebut. Pada saat ini, isu penting dan sensitif
dalam WTO (World Trade Organization) adalah isu subsidi pertanian.
Kekeliruan Kebijakan Pertanian Saat Ini
Setelah
Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984, percepatan produksi pangan utama
ini terus menurun. Akibatnya, impor beras Indonesia melonjak dari rata-rata 200
ribu ton pada periode 1990-an menjadi 1.5 juta ton pertahun sebelum krisis
(1995-1997), kemudian naik lagi menjadi 3.3 juta ton pertahun pada periode
krisis (1998-2001). Padahal swasembada ini pasti akan menghemat devisa. Impor
beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada tahun
1998 yang mencapai 5.8 juta ton. Selain
beras, komoditas pangan utama masih banyak didatangkan dari luar. Kebutuhan kedelai yang 3.0 juta ton, 70%-nya dipenuhi dari
impor karena indonesia hanya bisa memenuhi sekitar 828 ribu ton. Impor jagung
mencapai 2 juta ton dari kebutuhan 12.5
juta ton jagung.[ii]
Mengapa
kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada berbagai faktor yang
menyebabkannya. Pertama: Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun. Rata-rata
produktivitas padi adalah 4.4 ton/ha,
jagung 3.2 ton/ha, dan kedelai 1.19 ton/ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen
pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada
peringkat ke-29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9.5 ton/ha, Jepang
6.65 ton/ha. dan Cina 6.35 ton/ha.[iii]
Produktivitas rendah karena pilihan terhadap metode
peningkatan produksi didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian
negara-negara maju saat ini, bukan oleh pertimbangan ketepatan dengan kondisi
setempat. Revolusi pangan yang berarti
penggunaan bibit unggul baru—salah satunya untuk padi—dimaksudkan agar hasil
panen perhektar dapat ditingkatkan dan masa panen dapat dipersingkat. Namun,
pada praktiknya, 'bibit unggul' ini selalu membutuhkan pengairan, pupuk, dan
anti hama (pestisida). Bibit baru yang
digunakan oleh revolusi pangan rentan terhadap hama dan oleh karenanya memerlukan
lebih banyak pestisida. Di kebanyakan negara berkembang, pestisida yang
digunakan berkadar tinggi, yang di negara-negara industri telah dilarang
penggunaanya (DDT, Aldrin, DBCP). Pasar
pestisida dunia didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Sepuluh perusahaan
besar menguasai 60% pasaran dunia. Mereka mengambil keuntungan terutama dari
program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional
lainnya. Mereka terorganisasi dalam sebuah badan bernama Industry Cooperative
(ICP) yang mempunyai lobi-lobi berpengaruh atas kebijakan pertanian FAO.[iv]
Industri pertanian negara-negara maju berkepentingan agar
negara-negara berkembang menerima bibit-bibit unggul yang mereka tawarkan (yang
tidak dapat berkembang tanpa penggunaan pupuk dan pestisida).
Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi bahan kimia dan makanan menguasai
pembibitan dan perdagangan bibit unggul. Di antaranya Ciba-Geigy, Monsanto,
Pfizer, Upjohn, Sandoz, Shell, Cargill, ITT, General Foods.[v] Dengan segala cara mereka mendiktekan keinginannya. Kita masih ingat kasus penyuapan para pejabat
Deptan oleh Monsanto (perusahaan pestisida dan bibit dari AS) untuk meloloskan
rencana mereka menanam kapas transgenik yang masih kontroversial di Indonesia.
Keberpihakan Pemerintah terhadap pertanian yang
menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian
berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor (sering
berupa mobil dan barang mewah lainnya). Di samping itu, Bank Dunia, IMF, dan
lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara
berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan
cicilan utangnya. Tidak mengherankan
jika dana dan perhatian terhadap pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan
sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman untuk dijual (cash
crops). Sebagai contoh, dana
penelitian untuk menghasilkan bibit unggul lokal sangat minim, akibatnya bibit
lokal selalu kalah bersaing dengan bibit unggul dari luar. Semua itu mengakibatkan menurunnya produksi
bahan pangan. Belum lagi penguasaan air sebagai milik umum, perlahan-lahan
diswastanisasi dengan bolehnya swasta menguasai air. Air dan sarana irigasi diserahkan pada petani
dalam pengurusannya, padahal umumnya petani terbatas kemampuannya.
Kedua: peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun,
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di Pulau Jawa. Penerapan otonomi daerah—banyak daerah
menolak program transmigrasi—menghentikan pembukaan lahan-lahan baru di luar
Jawa. Di sisi lain, konversi lahan di daerah-daerah subur terus terjadi seperti yang
dikatakan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam Forum Komunikasi
Statistik dan Sistem Informasi Pertanian di Kuta-Bali pada tanggal 31 Mei 2006
mengatakan : “Di Indonesia dari tahun ke tahun terus terjadi konversi lahan dan
luasannya makin bertambah. Konversi itu perlu penelitian lebih lanjut karena
sejauh ini belum ada data yang pasti soal konversi, khususnya persawahan”.
[Sumber : KOMPAS, Jumat, 2 Juni 2006] sebagai contoh di pantai utara barat
sampai timur (Kabupaten Pasuruan) Pulau Jawa saja, misalnya, tiap tahun terjadi
konversi lahan pertanian beririgasi tidak kurang dari 500 hektar. Khusus di Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung konversi Lahan terjadi sebagai akibat adanya perubahan peruntukan
lahan yang semula diusahakan untuk pertanian berubah fungsi menjadi Lahan untuk
Tambang Inkonvensional (TI) yang cakupan reklamasinya harus menunggu waktu yang
relatif lama.adanya konversi lahan yang terjadi di Propinsi Kepualuan Bangka
Belitung akan menurunkan hasil panen dan produksi Padi, sedangkan selama ini
dengan penguasaan potensi yang ada Bangka Belitung sendiri hanya bisa mencukupi
9,36 % Kebutuhan Pangan yang ada di Bangka Belitung, maka dengan adanya
konversi lahan tersebut akan semakin terjadinya kerawanan pangan yang ada di
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sehingga alternatif yang diberikan
pemerintah tidak lain untuk mencukupi kebutuhan akan pangan yang mendesak tiap
tahunnya maka perlu adanya impor dari daerah/negara lainnya. Padahal jika kita
melihat potensi Lahan yang ada maka masih banyak lahan yang peruntukkannya
tidak dipergunakan untuk lahan sawah. Potensi sebesar berdasarkan angka BPS
Propinsi bahwa Penggunaan lahan Sawah yang didasari pada pengairan sebesar
16.135 Ha dimana yang hanya ditanami padi sebesar 5.680 Ha sementara yang tidak
diusahakan sebesar 8.909 Ha jauh lebih besar dari yang diusahakan tersebut.
Untuk lahan beririgasi di Indonesia sebesar 10.734.847 hektar (setengahnya
berada di Pulau Jawa) yang telah menyumbangkan produksi padi sebesar 28.692.517
ton lebih dari setengah dari total produksi Indonesia yang sebesar 51.323.225
ton untuk kebutuhan padi Indonesia pada
dasarnya masih bisa dimanfaatkan dengan penguasaan manajemen dan kebijakan
Pertanian yang berpihak kepada masyarakat.[vi] Dapat kita bayangkan, konversi lahan di lahan beririgasi sangatlah nyata
terhadap penurunan produksi pangan.
Politik Pertanian dalam Islam
Politik ekonomi Islam berdiri di atas satu konsep, yaitu
menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan syariat Islam yang diterapkan oleh
tiap orang dengan dorongan ketakwaan kepada Allah serta dilaksanakan oleh
negara, melalui pembinaan dan pengundang-undangan hukum syariat. Dalam masalah
produksi, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana cara memproduksi kekayaan
dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah diriwayatkan, bahwa
Nabi saw. pernah bersabda dalam masalah penyerbukan kurma:
«أَنْتُمْ
أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
Kalian lebih tahu tentang urusan dunia
kalian.
(HR Muslim dan Ahmad).
Terdapat juga riwayat, bahwa Nabi saw. pernah mengutus
dua orang Muslim untuk berangkat ke pandai besi di Yaman untuk mempelajari
industri persenjataan. Semuanya menunjukkan, bahwa syariat telah menyerahkan
masalah produksi harta kekayaan tersebut kepada manusia agar mereka
memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka, termasuk dalam
hal ini bidang pertanian.
Pada dasarnya, politik pertanian dalam Islam dijalankan
untuk meningkatkan produksi pertanian sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat. Pilihan tatacara peningkatan produksi merupakan hal yang mubah
untuk ditempuh. Tentu, pilihan cara peningkatan produksi itu harus dijaga dari
unsur dominasi dan dikte asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian
lingkungan ke depan. Untuk itu,
peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan: intensifikasi
(peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan).
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan
produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan
intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di
kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul,
pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.
Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang
digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan
industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada—serta intervensi
oleh—pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan.
Dalam
masalah permodalan, negara harus memberikan modal yang diperlukan bagi yang
tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Umar bin al-Khaththab pernah
memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu
mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa
meminta imbalan dari mereka. Di samping itu, negara harus melindungi air
sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karena itu, air
berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.
Adapun
ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan:
Pertama: mendorong pembukaan lahan-lahan
baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan,
lahan lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan pengaturan
negara.
Tanah
mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak
ada bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang
lainnya. Menghidupkan tanah mati (ihyâ’
al-mawât) itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap
untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika telah dihidupkan oleh
seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Aisyah ra., sebagai berikut:
«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
Siapa saja yang
telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang
lebih berhak. (HR al-Bukhari).
Nabi
saw. juga telah bersabda:
«مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang
telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu miliknya. (HR Abu
Dawud).
Rasulullah
saw., sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab, juga telah bersabda:
«مَنْ أَحْيَى
أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang
telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya. (HR
al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud).[vii]
Ada 300.000
hektar lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa. Di Indonesia jumlah lahan
kering adalah sebesar 11 juta hektar, yang sebagian besarnya berupa
lahan tidur. Jenis lahan lain yang masih
potensial adalah pemanfaatan lahan lebak dan pasang-surut, termasuk di kawasan
pasang surut. Luas lahan pasang-surut
dan lebak di Indonesia diperkirakan
mencapai 20.19 juta hektar dan
sekitar 9.5 juta hektar berpotensi untuk pertanian. Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya
menghadapi berbagai kendala untuk menjadi lahan pertanian, seperti keragaman sifat
fisiko-kimia dan bio-fisik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius oleh
negara untuk mengoptimalkannya dengan mencari dan menerapkan teknologi
budidaya. [viii]
Kedua: setiap orang yang memiliki tanah akan
diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya
perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga yang bersangkutan bisa
mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan
mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan
diberikan kepada yang lain. Umar bin
al-Khaththab ra. pernah mengatakan, "Orang yang memagari tanah tidak
berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga
tahun."
Dalam Kitab al-Amwâl, Abu Ubaid telah
mengeluarkan sebuah riwayat dari Bilal bin Harits al-Muzni, yang menuturkan:
Rasulullah saw.
telah memberikan lembah secara keseluruhan. Abu Ubaid berkata,
"Pada masa Umar, beliau pernah berkata kepada Bilal, 'Rasulullah saw.
tidak memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak
bisa mengambilnya. Akan tetapi, beliau memberikannya kepadamu agar kamu garap.
Karena itu, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola, dan yang
lain (yang tidak bisa kamu kelola) kamu kembalikan.'"
Ijma Sahabat juga telah menentukan bahwa siapa saja yang
mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut harus diambil dari
pemilik asalnya, lalu diberikan kepada yang lain.[ix]
Penutup
Dalam Islam, Negara dalam
hal ini Khilafah Islamiyah harus memperhatikan peningkatan produktivitas
pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta
melarang terbengkalainya tanah. Di
samping itu, Negara harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan
bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun lewat
perjanjian multilateral WTO. Dengan demikian, terdapat jaminan produksi yang
terus berlangsung dan meningkat sehingga terjamin pula pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat dalam Islam. Wallâhu
a‘lam bi ash-shawâb.
[i] Abu Fuad . Peperangan Rasulullah saw.
Pustaka Thariqul Izzah 2004. hlm. 77-78.
[iii] Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP. "Ketahanan Pangan
dan Teknologi Produktivitas
Menuju Kemandirian Pertanian
Indonesia,"
www.nakertrans.go.id. (Di download 1 Agustus 2005).
[iv] Rudolf H. Strahm. Kemiskinan Dunia Ketiga,
Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. PT Pustaka Cidesindo.
1999. hlm. 47.
[v] Ibid, hlm. 49.
[vi] Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP., Op.
Cit.
[vii] Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti.
1996. hlm. 136.
[viii] Dr.
Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP., Op. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar